Cintanya Berkobar dan Padam di Tanah Rencong, Aceh (1)
Andung mengaku sempat benci terhadap orang pondok pesantren. Entah santri atau ustaznya. Entah kenapa. Yang jelas, dia pernah dijodohkan dengan lulusan pondok pesantren. Pada 2005 lalu Andung dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang pria. Namanya Karman, sebut saja begitu. Karman adalah seorang lelaki yang tinggal sekampung dengan Andung, tapi dia seangkatan dengan kakaknya saat sekolah dulu. Usia mereka terpaut lima tahun. Yang Andung tahu, sejak kecil Karman adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan rajin ibadah. Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai dewasa. Andung selalu merasa risih sendiri dengan Karman bila berpapasan di jalan, sebab sopan santunya sepertinya berlebihan. Kepada siapa pun. Andung sampai geli menyaksikan ulahnya. Kampungan banget. Setiap ada acara ramai-ramai di kampung, Karman selalu tidak pernah kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Kalau dicek ke rumahnya pun gak ada. Orang tuanya pasti menjawab, “Karman di mesjid Nak, menghadiri taklim,” kata Andung menirukan jawaban orang tua Karman, saat kami bertemu di Pengadilan Agama Surabaya, beberapa waktu lalu. Waktu itu Andung sedang mengantar kakaknya yang sedang berproses cerai, tapi ternyata kisahnya sendiri yang lebih menarik untuk dituliskan di rubric kesayangan kita ini. Memang mudah sekali mencari Karman sejak lulus dari Pondok Pesantren Al-Manar Aceh. Cari saja di masjid, pasti ketemu. Karman sering membantu orang tuanya berdagang. Kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Inilah yang kadang disayangkan sebagian teman sebayanya. Ia dianggap tidak memanfaatkan potensi dan kelebihan-kelebihan diri. Secara fisik Karman memang hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Karman dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara di desa. Tapi bagi Andung, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab dia sendiri merasa bahwa Karman adalah sosok yang tidak istimewa. Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper, dan kampungan banget. Kadang hatinya sendiri bertanya, “Kok bisa yah ada orang bersekolah di kota namun begitu kembali tidak ada sedikit pun melekat ciri-ciri kekotaan pada dirinya.” HP gak ada. Selain membantu orang tua, kerjanya hanya ngaji, salat, taklim, dan kembali bantu orang tua. Gitu muter-muter aja. Seolah riang lingkup hidupnya hanya monoton pada itu-itu saja. Ke bioskop kek, cangkruk bareng teman-teman kek. Kan setiap malam Minggu di pertigaan kampung ramainya luar biasa. Ada acara curhat kisah yang disiarkan sebuah stasiun radio swasta di Gotontalo. Waktu terus bergulir, dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang tidak lepas dengan kata pacaran, Andung pun demikian. Dia memiliki kekasih yang begitu sangat dicintai, namanya Andi. Masa-masa indah dilewati bersama Andi. Indah dirasakan dunia remajanya saat itu. Kedua orang tua Andi sangat menyayangi Andung, dan sepertinya memiliki sinyal-sinyal restunya atas hubungan anak-anak mereka. (jos, bersambung).
Sumber: