Kekerasan dan Pernikahan Dini Penyebab Stunting Pada Anak

Kekerasan dan Pernikahan Dini Penyebab Stunting Pada Anak

Surabaya, memorandum.co.id - Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) mengundang Forum Anak Surabaya (FAS) dalam diskusi "Stop Kekerasan dan Pernikahan Dini Anak" di Pemkot Surabaya, Kamis (26/1/2023). Kadis Dinas DP3APPKB, Tomi Ardiyanto mengatakan, hampir 30 persen warga Surabaya adalah anak-anak. Kasus pernikahan dini, kekerasan pada anak di Kota Surabaya dan beberapa hari ini viral di media sosial tentang pernikahan dini. Untuk itu, pihaknya mengundang Pengurus forum anak Surabaya untuk membahas masalah ini dan mendengarkan langsung apa saja yang menjadi faktor utama. Tomi Ardiyanto menjelaskan, bahwa pemkot Surabaya juga menggandeng perwakilan UNICEF Indonesia untuk mewujudkan Surabaya sebagai Kota Layak Anak Dunia. "Mereka (UNICEF) sangat concern sekali terkait dengan ingin menjadikan Surabaya Kota Layak Anak. Bukan hanya di tingkat nasional, tapi di tingkat internasional, entah itu di level Asia atau Asia tenggara," kata Tomi Ardiyanto. Menurut Tomi, dukungan UNICEF, sangatlah penting untuk bisa meraih predikat Surabaya Kota Layak Anak Dunia. Makanya, dalam agenda ini, DP3A-PPKB juga menghadirkan seluruh pihak terkait untuk berdiskusi bersama menyamakan persepsi dalam mewujudkan hal tersebut. "Intinya support dari UNICEF, yang sekarang kita hadirkan itu akan memberikan support kepada Kota Surabaya. Sehingga Surabaya nanti bisa meraih atau mempertahankan sebagai kota layak anak atau kota ramah anak," ujar dia. Untuk usia pernikahan dini, kata Tomi, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kemenag dan pengadilan agama untuk melakukan upaya. Namun, pengadilan agama mengaku sudah sesuai persyaratan dan agama diperbolehkan. "Akhirnya dengan keadaan itu diperbolehkan pernikahan dini untuk menikahkan (anak) karena sunah," ujarnya. Untuk anak sekolah, dari pihak sekolahan sebelum masuk orangtuanya lebih dulu membuat surat pernyataan jika anaknya terlibat tindak kriminal, narkoba, hamil di luar nikab biasanya dikeluarkan dari sekolah. Berdasarkan surat pernyataan itu karena pihak sekolahan tidak ingin tercemar, menjaga image gegara siswanya hamil di luar nikah dan terlibat tindak kriminal. ketika hal itu terjadi pelaksanaan pendidikan dirasa gagal. Selama ini orangtua ketika anak sekolah seolah menjadi tanggungjawab sekolah. Bukan seperti itu. "Semuanya tergantung kebijakan sekolah," jelas Tomi. Sementara itu, Neerzara Syarifah Alfarizi yang biasa dipanggil Caca, salah satu pengurus FAS mengatakan sudah mendengar beberapa kasus kekerasan dan perkawinan anak semakin tinggi. Harapannya semakin menurun ke depannya. Caca mengungkapkan, berdasarkan data kasus yang dipegang tahun 2021 ada 100 kasus, tahun 2022 jumlahnya sebanyak 123 kasus, untuk kerasan seksual tahun 2021 172 kasus, tahun 2022 ada sekitar 60 kasus di Surabaya. "Hal ini terjadi disebabkan adanya faktor perkawinan usia anak," kata Caca. Sedangkan data yang didapat dari pengadilan agama (PA) tahun 2020, sebanyak 406 anak mengajukan permohonan menikah secara dini, dan tahun 2021 ada 375, 2022 sebanyak 364 pemohon. Dan untuk tahun 2023, ada 19 anak mengakukan permohon menikah di pengadilan agama. "Kami harap dari ini stop sampai di sini saja. Kami harap anak-anak bisa menikmati usia anak, belajar, dilindungi, menyampaikan pendapat," kata Caca. Caca mengatakan, pernikahan dini juga dialami di lingkungan terdekatnya. Ada temannya hamil dulu karena pergaulan bebas. Akhirnya oleh orangtuanya dinikahkan padahal masih sekolah. Setelah menikah punya bayi. "Seharusnya orangtua memberi edukasi kepada anaknya. Akhirnya setelah nikah tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi dan menjadi stunting," jelasnya. Dampak dari pernikahan dini berbagai macam faktor, mulai dari ekonomi dalam mengatur keuangan, sehingga memicu kekerasan pada perkawinan. Faktor pernikahan dini dikarenakan budaya, kehidupan sosial, pergaulan bebas hingga hamil diluar nikah. Jadi perlu adanya faktor edukasi dari semua pihak, mulai dari pemerintah, orangtua, guru sekolah. Karena menurutnya, mereka bukan anak-anak yang nakal, namun membutuhkan kasih sayang, perhatian lebih dari orang dewasa seperti guru, organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Caca juga sempat mention terhadap anak perempuan yang hamil di luar nikah dikeluarkan dari sekolah. Dia bersama teman-teman sempat berdiskusi kecil bagaimana agar tetap melanjutkan pendidikannya. Sedangkan yang cowok tetap masih bisa sekolah, ini berbeda banget peraturan dari sekolah tersebut. Sementara itu, perwakilan dari Unicef Jawa Timur, Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, untuk mengatasi kekerasan dan pernikahan maka perlu kerjasama dengan semua pihak untuk duduk bersama mengatasi masalah ini semuanya. "Merencanakan dan merubah mindset itu semua," kata Arie. (rio)

Sumber: