Telisik Tanah SDN Ketabang I yang Raib

Telisik Tanah SDN Ketabang I yang Raib

Pemerintah Kota Surabaya memiliki aset berupa tanah dan bangunan SDN Ketabang I/288. Terletak di Jalan Ambengan 29 Kota Surabaya. Luasnya 2.464 m2. Sejarahnya dulu, SD ini hasil “merger” SDN Ketabang I dan II. Lebih jauh lagi, sebelum jadi SDN Ketabang I dan II, awalnya sekolah itu bernama Sekolah Rakyat (SR) Ambengan. Beroperasi sejak tahun 1948. Jadi praktis mulai Indonesia Merdeka, tanah itu sudah berdiri sekolahan. Mulai dulu SDN Ketabang I termasuk sekolah legendaris di Surabaya. Alumninya banyak yang menjadi “penggede” di Negeri ini. Mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno adalah salah satu alumni SD ini. Ada juga Wardiman, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru. Serta mantan Kadis Pendidikan Jawa Timur, Harun. Namun, di balik kehebatan alumninya itu, ternyata tidak berbanding lurus dengan “nasib” tanah dan gedung SDN Ketabang. Statusnya “ngenes”. Tanahnya diserobot pihak lain. Pihak swasta. Bahkan “diam-diam” penyerobot itu berhasil mensertifikatkan tanah itu. Lho kok bisa? Adalah seorang perempuan bernama Setiawati Soetanto. Tiba-tiba mengklaim tanah SDN Ketabang I itu miliknya. Alasannya ia membeli seritifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor: 565 sisa dengan surat ukur 1951 No. 341 atas nama Perkumpulan Pendidikan dan Pengadjaran Kristen “Petrus” (PPPK Petrus). Klaim Setiawati Soetanto itu tentu bertentangan dengan Pemkot Surabaya. SDN Ketabang telah tercatat sebagai aset Pemkot dalam sistem Manajemen Barang Milik Daerah (Simbada) Pemkot Surabaya. Tercatat dalam register Nomor: 2348808 dan 2351955. Anehnya, klaim Setiawati “diamini” pihak Kantor Pertanahan Surabaya II. Kepala Kantor Pertanahan mengabulkan permohonan sertifikat atas nama Setiawati, meski Setiawati tidak pernah menguasai secara fisik. Hingga keluar Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor: 633/Kel. Ketabang, Tahun 1992. Aneh memang dengan penerbitan SHGB itu. Terutama saat pengukuran tanah apakah petugas ukur Kantor Pertanahan tidak tahu tanah itu berdiri sebuah sekolahan? Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah: mutlak diatur pemohon harus menguasai secara fisik tanah yang dimohonkan. Sementara faktanya: yang menguasai fisik adalah Pemkot Surabaya. Dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Karena lahan SD itu berupa sekolahan, mustahil Setiawati menguasai secara fisik. Namun nyatanya surat penguasaan fisik itu Setiawati punya. Alias ada untuk persyaratan pengajuan sertifikat. Meski Setiawati mengantongi SHGB, ternyata dia tidak bisa “ngapa-ngapain” tanahnya. Karena obyek tetap dipakai proses belajar mengajar di SDN Ketabang I/288. Maka, meski dia berusaha menawarkan untuk dijual, tidak ada satupun calon pembeli yang berani menawar. Karena masih sengketa. Lalu mau membangun di tanah itu juga tidak akan pernah bisa. Karena, pihak Pemkot tidak akan pernah mengeluarkan IMB. Jadi sebenarnya Setiawati hanya menang “kertas” saja. Meski dia tidak bisa menjual atau mengolah tanahnya, Setiawati pantang menyerah. Ia tetap bertahan dan melawan Pemkot Surabaya. Bahkan sampai SHGB yang dimiliki Setiawati waktunya habis, ia terus melawan. Waktu HGB memang hanya berlaku 20 tahun. Jadi sejak tahun 2012 SHGB SDN Ketabang atas nama Setiawati telah berakhir. Pihak Kantor Pertanahan tidak mau memperpanjang. Pasalnya, ketika Setiawati akan memperpanjang SHGB, Kantor Pertanahan Surabaya II mendapat surat “cinta” dari Pemkot Surabaya. Pemkot menyatakan tanah SHGB 633/Ketabang adalah milik Pemkot. Setiawati akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dengan nomor register perkara: 110/G/2012/PTUN.Sby. Putusan sampai upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) memenangkan Setiawati. Intinya memerintahkan Kantor Pertanahan agar memperpanjang HGB 633/Ketabang atas nama Setiawati Soetanto. Dalam gugatan perdata, Pemkot juga “bertempur” melawan Setiawati. Di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Pemkot kembali dikalahkan. Begitupun dalam putusan banding. Saat ini Pemkot hanya bisa berharap ada keajaiban putusan Kasasi. Melihat putusan PTUN dan perdata yang kurang menguntungkan itu, Pemkot melaporkan dari perbuatan tindak pidana korupsi. Laporan langsung ditanda tangani Walikota Risma. Laporan ini dilakukan saat masa akhir saya menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya. Sekitar Agustus 2017. Saat itu saya tugaskan tim di Seksi Intelijen untuk melakukan penyelidikan intelijen. Semua pihak sudah diperiksa termasuk Setiawati. Hasilnya masih buntu. Setiawati tidak mau menyerah. Masih “ngeyel” saja sebagai pembeli dari PPPK Petrus. Sampai akhirnya saya pindah sebagai Aspidsus Kejati Jatim Oktober 2017. Kasus itu belum kelar. Karena ternyata dalam waktu bersamaan Bu Risma juga melapor ke Polda Jatim. Polda memprosesnya dalam perkara pidana umum yaitu pemalsuan surat. Pasal 263 atau 264 KUHP. Hingga akhirnya Intel Kejari pun mundur dulu teratur. Agar kasus SDN Ketabang tuntas memang perlu “obat” pidana khususnya. Ya, untuk pidana korupsinya, sebenarnya saya sudah punya rencana. Laporan korupsi Setiawati dalam kasus SDN Ketabang ditarik ke Kejati Jatim. Namun karena kesibukan menangani Kasus YKP dan PT DOK dan lain-lain, maka belum sempat menarik kasusnya. Bahkan sampai SK pindah saya ke Kejagung keluar. Memang, Tim Pidsus belum sempat saya bentuk. Namun beberapa kali kasus SDN Ketabang ini sudah saya diskusikan di Pidsus Kejati. Ada Jaksa yang usul, “Biarkan kasus ini ditangani Polda untuk perkara pidumnya: pemalsuan surat. Kalau mentok baru Kejati bertindak untuk perkara korupsinya.” Saya pun berkelakar dihadapan Jaksa Pidsus. “Yo ... wis ini PR untuk Aspidsus yang baru saja. Biarkan saya pindah, dulu. Wayahe...wayahe...,” kata saya sedikit lemas, karena belum berhasil menyelesaikan tanah SDN Ketabang ini. Kali ini saya nyuwun sepuro ya.....Warga Suroboyo. [Kang DF]   Artikel disadur dari Buku Jaksa Vs Mafia Aset Penulis : Didik Farkhan Alisyahdi, SH., MH.   Catatan redaksi :  Mahkamah Agung  Republik Indonesia akhirnya mengabulkan Kasasi Pemkot Surabaya tertanggal 29 Oktober 2019, Nomor : 3070 K/ PDT/ 2019.

Sumber: