Perjalanan Menuju Jalan yang Lurus di Bawah Panji Agama (1)

Perjalanan Menuju Jalan yang Lurus di Bawah Panji Agama (1)

Hamil Pertama seperti Diterbangkan di Atas Taman Berjuta Bunga Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Hati Endang (24, bukan nama sebenarnya), warga Wiyung, berbunga-bunga saat dokter puskesmas memberitakan kehamilannya. Mendadak dunia berubah menjadi taman berjuta bunga. Indah dan wangi. “Kegembiraan itu aku rasakan sekitar enam bulan silam. Aku bagai melayang di antara awan dan melihat di bawahku warna-warni hamparan bunga. Aku ingin segera membagikan berita gembira itu kepada suami dan orang tua,” kata Endang di kantor pengacara sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Makanya, begitu keluar dari ruang periksa dokter, perempuan berkaki jenjang ini spontan merogoh tas cangklong dan meraih HP di dalamnya. Sejurus kemudian beterbanganlah kabar gembira tadi ke orang-orang tercinta. Respons kegembiraan balik menyambar hati Endang dan makin melambungkan kebahagiaannya. Kecuali dari Bondan (26, samaran), sang suami. Bondan malah diam, dan tidak lama kemudian malah mematikan HP-nya. “Aku kira Mas Bondan ingin mendengar langsung berita membahagiakan ini. Aku pun bergegas pulang.  Aku membayangkan belaian hangat suami menyambut kedatanganku,” tutur Endang. Sekilas ada kilatan cahaya di sudut matanya, tapi dengan cepat berubah kelam seolah ditutupi kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. “Ada apa, Mbak?” tanya Memorandum penasaran. Sebab, cukup lama Endang tersedot kesadarannya. Dia mendadak jadi orang linglung. Bola matanya berputar-putar naik-turun, bergerak ke kanan dan ke kiri namun terkesan hampa. Endang lantas menatap Memorandum seperti mohon kekuatan hati. “Aku kecewa,” tuturnya lirih. Kalimat ini dia ungkapkan seperti keluhan anak kepada bapak. Dia jelaskan, hari itu sampai menjelang tengah malam, suaminya tidak pulang. Endang mengaku amat waswas karena Bondan tidak menghubunginya dan tidak bisa dihubungi. Ketika tiba-tiba muncul bersamaan kumandang tarhim menjelang azan Subuh, Bondan tampak terhuyung-huyung di bawah mistar kusen pintu. Entah kapan dia membuka pintu, Endang tidak menyadari karena sempat terlempar ke alam mimpi. Waktu itu Endang tertidur di sofa ruang tamu menunggu kedatangan Bondan sejak selepas Isya. Dalam keadaan begitu, Bondan menyeret Endang masuk kamar dan memaksanya duduk di ranjang. Tepat di depan sang istri, Bondan menuding perut Endang dan berkata dengan kasar, “Gugurkan itu!” Tentu saja Endang bengong dan menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Bondan. Dia juga tidak mampu berkata-kata dan hanya meminta penjelasan lewat sorot mata. “Nggak paham ya? Perlu kuulang? Gugurkan kandungan itu!” Bondan kembali membentak Endang seperti ditirukan Endang. Kali ini bahkan disertai tindakan. Tangannya menjambak daster yang menutup tubuh sang istri, lalu menariknya kuat-kuat. Sampai-sampai perempuan ini tersentak dan jatuh. “Aku nggak mau tahu. Besok kandungan itu harus sudah tidak ada,” teriak Bondan sebelum menjatuhkan diri ke ranjang dan tertidur pulas. Tinggallah Endang sendirian merenungi nasib. (bersambung)  

Sumber: