UU KUHP Disahkan, Benarkah untuk Menjamin dan Melindungi Rasa Keadilan bagi Seluruh Warga Negara Indonesia?

UU KUHP Disahkan, Benarkah untuk Menjamin dan Melindungi Rasa Keadilan bagi Seluruh Warga Negara Indonesia?

Oleh : Abdul Rasyid, S.Ag. - Sekjend DPP LPKAN Indonesia. UU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) telah  disahkan oleh DPR RI pada Selasa 6 Desember 2022 menjadi Undang-Undang dan berlaku tiga tahun kemudian yakni; tahun 2025, merupakan Produk Politik yang akan dijadikan landasan hukum bagi setiap warga negara atas segala tindak dan perbuatannya dalam kehidupan secara individu, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan harapan, bahwa UU KUHP yang baru dapat memberikan perlindungan dan jaminan rasa keadilan bagi siapapun yang hidup di Wilayah Negara Republik Indonesia tanpa terkecuali, agar dalam kehidupan dapat berjalan tertib, adil, aman, dan damai yang harus dijaga dan dilaksanakan bersama oleh siapapun dengan tanpa membedakan apapun latar belakang strata sosialnya. Sejak Rancangan sampai dengan pasca disahkan, UU KUHP memunculkan pandangan dan penilaian kritis dari publik dan dunia internasional, apalagi dalam proses pembahasan sampai dengan di sahkan, terdapat pasal-pasal yang masih menimbulkan polemik bagi publik dan bahkan dianggap kontroversial dalam pelaksanaannya, yakni ; tidak pro demokrasi, adanya diskriminasi, tidak pro pada pemberantasan korupsi, dan tidak pro pada Hak Asasi Manusia. Berikut Pasal-Pasal UU KUHP yang dianggap berpolemik dan kontroversial menurut pandangan dan penilaian Publik : 1. Pidana Penghinaan Terhadap Kepala Negara/Presiden atau Wakil Presiden Pasal 218 mengatur ketentuan penghinaan kepada Kepala Negara/Presiden atau Wakil Presiden. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara. Pasal ini merupakan delik aduan. "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal 218 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut memberi pengecualian. Perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri tidak termasuk kategori penyerangan kehormatan atau harkat martabat. 2. Pidana Makar Pasal 192 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun. 3. Pidana Menghina Lembaga Negara Pada pasal 349 mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. Pada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan. Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam KUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. 4. Pidana Demo/Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan Pasal 256 memuat ancaman Pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. "Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,".

Sumber: