Kenangan Kenanga dari Tugas Dinas di Pedalaman Kalimantan (1)
Pria itu berusia sekitar 40 tahun. Matanya merah. Sesaat kemudian menggeram hebat. Seperti auman singa padang pasir. Dia berusaha menyerang pria di sampingnya yang memakai baju dan kopiah putih serta celana hitam. Dengan sigap orang yang diserang tadi memegang ubun-ubun penyerangnya. Sejenak kemudian si penyerang lemas dan muntah-muntah. “Dia terkena guna-guna,” kata teman Memorandum, sebut saja Miko, tentang tadi. Namanya sebut saja Slamet. Dia sedang menjalani ruqyah di sebuah masjid besar di kawasan Surabaya Selatan, belum lama ini. Miko sengaja mengajak wartawan koran ini melihat terapi ruqyah terhadap Slamet karena kasusnya sangat unik. “Biar ente percaya bahwa guna-tuna itu ada,” kata Miko. Slamet dan Miko adalah teman sekantor di sebuah BUMN. Menurut Miko, sepulang dari penugasan dinas di Kalimantan Tengah, tingkah laku Slamet sering aneh-aneh. Dia suka berteriak-teriak sambil menujuk ke arah tertentu. “Di situ… di situ…” teriaknya, lalu menangis gero-gero seperti anak kecil ditakut-takuti ada hantu cangkrukan di dahan pohon. Slamet juga dengan kasar meraba-raba selangkanganya kayak sedang mencari sesuatu. Tapi setiap ditanya ada apa, Slamet selalu menjawab tidak ada apa-apa. Setelah itu dia terlihat lemas, berpandangan kosong, dan sulit konsentrasi. Hal seperti ini sering terjadi di tempat kerja. Melihat perubahan pada tingkah laku Slamet, orang-orang pada kasak-kusuk. Ada yang mengatakan Slamet kerasukan, ada yang mengatakan terkena guna-guna, ada pula yang mengatakan Slamet sebenarnya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Suatu saat Miko sedang cangkruk di teras rumah. Dia bersama kerabat dari luar kota yang sedang menginap. Udara yang sumuk menggiring mereka mencari angin ke luar rumah. Waktu itu hampir tengah malam. Tiba-tiba dari rumah sebelah, tempat tinggal Slamet, terdengar keributan. Slamet berlari keluar rumah hanya memakai kaus oblong dan sarung. Dia berteriak-teriak namun tidak jelas apa yang diomongkan. Yang pasti suaranya lantang dan menyimpan nada ketakutan. Beberapa tetangga muncul dari dalam rumah masing-masing. Mereka membantu menenangkan Slamet dengan menangkapnya. Setelah itu mendudukkan dia di sebuah kursi teras seorang tetangga. “Hilang lagi… hilang lagi…” katanya nyaris tak terdengar. “Apanya yang hilang Pak Slamet?” tanya seseorang. Slamet tidak segera menjawab. Dia menata napasnya yang tersengal. Tiba-tiba berdiri dan menunjuk langit. “Di situ… di situ… terbang..,” teriak lelaki bekumis tipis ini sembari berlari kembali. (jos, bersambung)
Sumber: