Pernikahan karena Telanjur Hamil, padahal Hanya Sekali (1)
“Ini Anak Haram, Harus Digugurkan… Aku Tidak Mau…’’ “Aku belum bisa percaya,” ujar seorang perempuan, sebut saja Niken, terhadap kehamilan dirinya. Dia kembali memandangi perutnya yang sedikit membuncit. Niken mengaku tidak yakin karena dia dan teman hanya melakukan sekali. Ya. Cuma sekali. Temannya, sebut saja Bambang, pun geleng-geleng kepala. “Dia bahkan kaget saat kukabari bahwa aku terlambat,” kata Niken di sebuah kafe dekat kantor Memorandum, beberapa waktu lalu. “Tapi benar kan?” tanya Bambang meyakinkan. “Jangan-jangan hanya mundur. Adikku juga sering begitu kok. Setelah ditunggu satu-dua minggu, ternyata menstruasi juga.” Niken berusaha meyakinkan diri dan berdoa semoga yang dikatakan Bambang benar. Dia lantas menghitung hari. Lewat sehari, tamu rutin yang diharapkan datang saban bulan itu belum muncul. Lewat dua hari, masih belum.Tiga hari, belum juga. Niken mulai waswas. Ia kembali mengadu kepada Bambang. Tapi, cowok yang baru duduk pada semester tiga sebuah perguruan tinggi ternama itu ringan saja menanggapi, “Ini baru memasuki hari keempat. Santai saja. Kita tunggu sampai dua-tiga minggu.” Niken tidak mau berdebat meski hatinya makin tak karuan. Kalau sampai lewat tiga minggu dan nyatanya belum menstruasi, “Apa yang mesti kami lakukan?” Pikiran itu terus menghantaui. Makin mendekati minggu ketiga makin kacau. Di tengah minggu ketiga, Niken kembali menemui Bambang. “Kalau sampai minggu keempat belum juga menstruasi, kita menemui kakak temanku,” kata Bambang. “Kenapa? Apa hubungannya dengan kita?” “Dia seorang dokter kandungan.” “Maksudmu?” “Kita gugurkan.” “Semudah itu kau membunuh calon anak kita?” “Anak kita? Kita belum menikah. Ini anak haram. Aku tidak mau melihatnya.” Mendengar janin di dalam perutnya disebut anak haram, mendadak emosi Niken terbakar. Membara. Dia tampar pemuda di hadapannya itu. Bambang diam. Hanya meringis. “Kita harus bertanggung jawab,” kata Niken. “Maksudmu?” “Kita nikah.” “Aku masih kuliah.” “Itu bukan alasan agar kita bisa lepas dari tanggung jawab.” “Orang tua kita pasti tidak setuju.” “Belum kita coba.” “Kalau mereka tidak setuju?” “Kita harus meyakinkan.” “Tapi, Niken? Bukankah kita dulu hanya iseng. Hanya main-main.” “Sekarang bukan waktunya main-main.” Setelah menyelesaikan ucapannya itu, Niken tertegun. Seolah baru sadar bahwa antara dirinya dan Bambang memang tidak ada keterikatan apa pun. Teman dekat, bukan; pacar, bukan, apalagi tunangan. Mereka hanya teman. Teman biasa yang dua-tiga kali bertemu. (jos, bersambung)
Sumber: