Cinta yang Terakhir Itu juga Cinta Pertamanya (3-habis)
Bambang konsultasi ke dokter: mungkinkah istrinya hamil, padahal ia mandul? Meski jawabannya sudah bisa ditebak, Bambang tetap kaget mendengar dokter berkata, “Tidak.” Pertanyaannya sekarang: siapa yang menjadikan Nindi hamil? Pikiran Bambang langsung tertuju kepada Fadlul. Tapi, mungkinkah? Lantas, kalau bukan dia, siapa lagi? Sebab, selama ini Nindi tidak pernah berteman akrab dengan lelaki lain selain Fadlul. Bambang bingung. Stres. Depresi. Kalau memang Fadlul yang bikin Nindi hamil, apa yang harus dia lakukan? Yang jelas tidak mungkin menanyakan kebenaran soal ini kepada Nindi. Juga kepada Fadlul! Menyelidiki kebersamaan mereka? Ah. Tapi kalau memang itu terpaksa harus dilakukan, Bambang bertekad akan melakukannya sendiri. Tidak melibatkan orang lain. Sebab, kalau nantinya memang terbukti benar, hal itu hanya akan membuka aib keluarga. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Bambang akhirnya memutuskan turun sendiri untuk mencari jawaban. Sehari-dua hari, Bambang belum melihat tanda-tanda kedekatan Nindi dan Fadlul yang mencurigakan. Mereka bertemu sewajarnya saja. Itu pun selalu ada Bambang. Seminggu-dua minggu, tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Bahkan menginjak bulan ketiga, tanda-tanda itu tidak terlihat. Kembali Bambang menemui dokter. Mempertegas bahwa dia benar-benar tidak mungkin membuat Nindi hamil dan melahirkan. Dokter memahami kegalauan Bambang. Maka, dia menyarankan Bambang untuk mengetes DNA si baby. “Begitu anak itu lahir, bawa ke sini. Kita tes DNS. Kalau bisa, usahakan persalinan istrimu nanti di sini,” kata dokter meyakinkan Bambang. Bambang menyanggupi membawa istrinya ke dokter. Beberapa hari setelah itu, Nindi melahirkan. Saat itu juga dokter memeriksa darah si baby. Dan ternyata benar, terbukti anak itu bukan darah dagingnya. Untuk meyakinkan dugaannya, beberapa hari kemudian Bambang membawakan rambut Fadlul untuk dites DNA. Dokter sepakat. Ternyata hasil tes DNA keduanya cocok! Klop! Bambang tidak langsung mengonfirmasikan hasil tes tadi kepada Nindi, melainkan terlebih dulu ke Fadlul dan mencercanya dengan pertanyaan ini, “Benarkah bayi yang dikandung Nindi itu anakmu?” Fadlul diam. Hanya tolah-tolah seperti kethek ditulup. “Ya. Mungkin,” jawabnya kemudian. Lirih. Agak ragu. “Mungkin?” bentak Bambang. “Bukankah Nindi istrimu?” imbuh Fadlul. Masih lirih. Mendengar itu, Bambang langsung mendaratkan pukulan keras ke rahang kiri Fadlul. Yang dipukul diam saja, meski darah segar mengalir di ujung bibir. “Sudah tahu dia istriku, mengapa kau tega berkhianat?” Kembali pukulan telak menghantam rahang kanan Fadlul. Kali ini Fadlul tidak mampu bertahan. Tersungkur di lantai dan mengerang. “Akhirnya kuputuskan meninggalkan Nindi,” kata Bambang. Ia menambahkan bahwa beberapa bulan kemudian dia mendengar kabar Karlina, cinta pertamanya, kebetulan ditinggal mati suaminya. Terkena serangan jantung. “Mungkin dia jodohku,” kata Bambang. “Teklek kecemplung kalen, tinimbang golek aluwung balen,” imbuhnya saat mengurus perceraiannya dengan Nindi di PA Surabaya. (jos, habis)
Sumber: