Cinta yang Terakhir Itu juga Cinta Pertamanya (1)
Bambang (samaran) tidak mengira pepatah Jawau kuno teklek kecempung kalen, tinimbang golek aluwung balen, yang dulu sering dijadikan guyonan, kini dia lakoni. Ceritanya panjang. Amat panjang. Untuk sampai pada keadaan kekinian, Bambang harus melewati pernikahan vs perempuan lain sebelum kembali bertemu vs cinta pertamanya kembali. Cinta pertama Bambang ditambatkan kepada teman SMP-nya, sebut saja Karlina. Tapi, Bambang terlambat mengungkapkan isi hatinya, terburu Karlina ditembak teman sebangkunya di SMA. Mereka jadian. Hal serupa nyaris terjadi pada persahabatannya dengan Nindi dan Fadlul (sama-sama bukan nama sebenarnya), teman sesama aktivis partai. Namun, meski sempat berusaha agar tidak sampai terjadi seperti cinta pertamanya, Bambang tetap harus menelan kekecewaan. Menurut Bambang, awalnya dia hanya bersahabat dengan Fadlul. “Sebenarnya saya tidak begitu sreg ikut-ikutan partai. Ribet, Saya dipaksa Fadlul,” kata Bambang di kantor pengacara, sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya. Dia lantas menjelaskan bahwa ayah Fadlul seorang pengurus partai dan ketika itu menjadi wakil rakyat. Keren. Waktu itu mereka masih sama-sama jomblo. Joker. Jomblo keren. Beberapa waktu kemudian keduanya berkenalan dengan Nindi. Mereka cepat akrab. “Fadlul sering ngrasani Nindi. Katanya Nindi cantik tapi tidak sombong. Saya diam saja dan hanya mengiyakan apa yang dia katakan,” imbuh Bambang. Saking akrabnya, mereka sampai dijuluki Three Musketerers. Ke mana-mana selalu bersama. Sampai suatu saat saku baju Bambang disisipi secarik kertas oleh Nindi. Ada tulisannya. Sangat singkat, “Aku sayang kamu. Ttd Nindi.” Bambang bingung. Tidak tahu harus bagaimana menyikapi tulisan tersebut, “Tidak bisa dipungkiri, sebenarnya saya sendiri menaruh hati kepada Nindi. Namun, rasanya tidak mungkin saya mengkhianati teman. Andai saya tidak tahu Fadlul naksir dia, pasti lebih mudah.” Makin dipikirkan, Bambang mengaku semakin bingung. Karena itu, diam-diam dia menjaga jarak. Dia mulai jarang mengikuti kegiatan partai, bahkan pada akhirnya sama sekali tidak pernah ikut. Bambang beralasan ingin fokus mencari kerja. “Dua bulan kemudian saya diterima di percetakan. Anak perusahaan media massa besar. Gajinya lumayan.” Suatu hari Nindi datang ke tempat kerja Bambang. Terus terang dia menyatakan sayang dan menagih jawaban Bambang. Pemuda berkumis tipis ini kembali bingung. Tidak menyangka Nindi akan seterus terang itu. “Kamu nggak sayang ya sama aku?” tanya Dindi. “Bukan begitu,” respons Bambang spontan. “Lalu apa?” kata Nindi. Waktu itu Bambang ingin menjelaskan bahwa sebenarnya Fadlul juga sayang kepada Nindi. Maka, sebaiknya jadian saja sama dia. Bukan dengan dirinya. Tapi, kalimat itu selalu gagal diucapkan. Hanya untup-untup di bibir. (jos, bersambung)
Sumber: