Bawah Pohon
Oleh: Dahlan Iskan Saya kecewa --campur bangga. Saat membaca komentar-komentar di DI’s Way Selasa (18/11). Mengapa Anda, Mr Xiong Mao membocorkan rencana rahasia saya. Dengan tepat pula. Itulah memang rencana rahasia saya: akan mengajak Robert Lai turun di stasiun Lanzhou. Lalu bermalam di ibu kota Provinsi Gansu itu satu malam. Besoknya baru naik pesawat ke Hangzhou. Sebenarnya saya baru akan membocorkan rahasia itu satu jam sebelum berhenti di Lanzhou. Rahasia harus diakhiri lebih cepat. Rencana itu harus dilaporkan ke petugas. Saya tidak mau terjadi sesuatu di negara lain --khususnya di negara komunis. Bukan main gembira Robert. Melebihi anak kecil. Tidak jadi naik kereta ekonomi 54 jam. Dari Wulumuqi (Xinjiang) ke Hangzhou. Cukup Wulumuqi-Lanzhou, 26 jam. Toh tujuan sudah tercapai: naik kereta api di gurun. Saya sudah beberapa kali ke Lanzhou. Robert belum pernah. “Apa yang menarik di Lanzhou?” tanyanya. “Lanzhou niu rou lamian. Mi tarik Lanzhou,” jawab saya. Kami pun lapor petugas. “Kami akan turun di Lanzhou,” lapor saya. “Bisa. Tapi tiket dari Lanzhou ke Hangzhou tidak bisa di-refund,” jawab petugas. Tidak masalah. Dibuang saja. Saya pun mengembalikan nomor kamar. Dia membuka buku catatan. Mengembalikan tiket saya. Saat naik kereta kemarin tiket memang dia simpan. Diganti kartu nomor kamar. Kami juga pamitan ke guru yang sekamar. Mereka heran-heran. Untuk apa membuang tiket yang baru terpakai sepertiganya. Kami tidak mengaku kepada sang guru siapa kami sebenarnya. Kami mengaku hanya pegawai pabrik percetakan. Turun dari kereta dingin sekali. “Ke hotel dulu atau makan mi?” tanya Robert. “Ke hotel dulu. Hanya untuk taruh tas. Langsung makan mi,” jawab saya. Di hotel itu saya perlu yang lain: bertanya di mana Lanzhou Lamian yang paling enak. Yang terdekat. Sudah lapar. Dan sudah ngiler. Saya tidak mau bertanya ke sopir taksi. Kapok. Waktu di Hanoi, Vietnam, saya berbuat salah. Saya bertanya ke sopir taksi di mana pho yang paling enak. Lalu minta diantar ke sana. Ternyata saya diantar ke warung pho pinggir jalan yang kotor sekali. Mungkin sang sopir menyesuaikan dengan pakaian saya: tidak berdasi. Enak memang. Tapi karena vitsin. Petugas hotel bintang lima tentu punya referensi yang berbeda. “Dekat sekali. Di belakang hotel ini,” ujarnya. Wajahnya, potongan rambutnya, begitu mirip Kim Jong-Un. Saya pun minta nomor WeChat si Kim Jong-Un. Ternyata ia tidak pasang foto diri di status HP-nya. Justru foto orang lain yang ada di situ: foto Kim Jong-Un. Kami pun berjalan ke alamat yang diberikan. Restorannya tidak besar, tapi tidak kotor. Hanya saja kami kesulitan masuk: padat manusia. Semua makan Lanzhou Lamian. Padat dalam pengertian sebenarnya. Kami pun antre berdesakan. Berhimpitan. Semua pelayannya pakai jilbab. Tapi tenggelam oleh padatnya mi-mania. Hampir dipastikan semua pemilik restoran Lanzhou Lamian adalah orang Islam. Suku Hui. Akhirnya saya mendapat giliran. Mangkoknya panas sekali. Mau dimakan di mana? Semua meja terisi. Duduknya pun sudah berhimpitan. Saya pilih membawa mangkok ke luar restoran. Saya lihat banyak juga yang makan di bawah pohon. Di trotoar. Termasuk mereka yang berjas dan berdasi. Saya lihat ada dua sepeda listrik parkir di bawah pohon itu. Maka mangkok panas itu pun saya taruh di sadelnya. Saya sudah siap makan sambil berdiri. “Duduk di sini,” ujar seorang pemakan mi. Berkata begitu ia berdiri meninggalkan kursinya. Tentu saya menolak. Ia belum selesai makan minya. Mangkoknya masih terisi. Saya sampai dipaksa duduk di situ. OK. Xie xie ni. “Enak?” tanya saya ke Robert. “Luar biasa,” jawabnya. Saya sudah bisa memastikan jawaban seperti. Tapi saya punya agenda tersembunyi di balik pertanyaan itu. Dan Robert juga tahu ke mana arah pertanyaan itu. Saya pernah kecewa di negaranya Robert. Setelah operasi aorta dissection dulu. Hari itu saya minta dicarikan Lanzhou Lamian. Ditemukanlah hanya ada satu restoran Lanzhou Lamian di negara kota itu. “Kita ke sana,” kata saya. Kami pun meninggalkan rumah sakit. Lengkap. Ada istri dan anak wedhok. Selama di restoran saya sebel. Ini sama sekali bukan Lanzhou Lamian. “Ini palsu,” kata saya lirih. Hanya satu sendok yang masuk ke mulut. Saya tidak mau meneruskan. Saya hanya diam bersandar ke kursi. Robert mengira saya marah. Tidak. Saya hanya lagi kesakitan. Nafas saya sesak lagi. Kami bergegas kembali ke RS. Di tengah jalan Robert menghubungi dokter. Saya tidak jadi diperbolehkan pulang. Opname lagi. Diinfus lagi. Tiga hari lagi. “Tadi itu baru asli,” kata saya pada Robert. Sambil berjalan kembali ke hotel. Ia juga tahu maksud kalimat saya itu. Tidak di semua bidang Singapura hebat. Lanzhou Lamian-nya buruk sekali. Tiba di hotel barulah kami check-in. Saya minta Robert istirahat dua jam di kamar. Saya akan ke suatu tempat. Ke rumah sakit yang baru dibangun. Yang menjadi pusat terapi kanker berteknologi baru: carbon ion. (DI's Way:Karbon Kanker). Saya hanya ingin tahu seperti apa rumah sakitnya. Kok alat penyembuh kanker pertama bikinan Tiongkok ditempatkan di situ. Rumah sakit itu sudah jadi, tapi belum diresmikan. Kembali ke hotel Robert sudah rapi. “Ke mana kita?” tanyanya. “Lanzhou Lamian,” jawab saya. “Setujuuuu,” ucapnya sangat antusias. Kami pun menuju restoran Lanzhou Lamian no 1 lagi. Lebih jauh. Tapi restorannya besar dan agak mewah. Pelayannya juga berjilbab semua. Jilbab model baru: untuk ukuran Tiongkok. Kelihatannya mereka tertular gaya jilbab Shila. Penyanyi terkenal di Tiongkok. Yang selalu berjilbab. Nama asli penyanyi itu Shila Hamzah. Asal Malaysia. Saya suka memutar videonya. “Enak?” tanya saya pada Robert. “Enak sekali. Tapi yang di bawah pohon tadi lebih enak,” katanya. “Tadi itu kita lagi lapar,” sela saya. Selesai makan kami keliling kota. Ke pinggir sungai Huang He. Yang hulunya membelah kota Lanzhou. Yang muaranya di Provinsi Shandong. Berarti saya pernah ke tepi Huang He di empat provinsi. “Nanti malam makan apa?” tanya saya pada Robert. “Lanzhou Lamian,” jawabnya mantab. “Setujuuu,” kata saya. Kapan lagi bikin sejarah: sehari makan Lanzhou Lamian tiga kali. Di kota Lanzhou pula.(*)
Sumber: