Gelayut Mendung di Wajah Pegawai Yayasan Yatim-Piatu (3)
Bahagia Abu-Abu di Bawah Bayang-Bayang Pengkhianatan Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Pelukan, ciuman, dst di temaram badai malam itu meninggalkan bekas di hati masing-masing pelakunya. Berti dan Bangkir merasa berdosa dan ingin menebus. Tapi bagaimana? Bangkit sudah berkeluarga. Berti tak ingin tragedi malam itu merusak rumah tangga Bangkit. Menjadikan istri dan anak-anak lelaki tersebut terluka. Tapi di sisi lain, dia telah ternoda. Solusi kawin siri yang ditawakan Bangkit pun akhirnya diterima. Hanya orang-orang tertentu yang diberi tahu bahwa mereka sudah sah menjadi pasangan suami-istri. Termasuk kepala yayasan tempat Berti bekerja, adik-adik Berti, dan beberapa kerabat dekat. Demikian pula Bangkit, dia tidak ingin mengecewakan istri dan salah memberi teladan buruk kepada anak-anaknya. Di sisi lain, Bangkit tidak bisa menafikan perasaan di dalam hati kecilnya kepada Berti. Maka, jalan satu-satunya untuk menempuh jalan tengah atas kasus ini adalah menikahi Berti secara sembunyi-sembunyi, asalkan sah menurut agama, dan mengupayakan kehidupan yang layak untuk Berti. Bangkit lantas membelikan Berti rumah di pinggiran kota. Walau tidak setiap hari, pemilik beberapa tambak di Gresik dan Sidoarjo ini secara rutin menyambangi istri mudanya tersebut. “Aku bahagia, Te. Tapi, rasanya kok kurang sempurna. Bahagia abu-abu di bawah baying-bayang pengkhianatan cinta,” tutur dia. Berti menyadari tidak akan bisa memiliki Bangkit secara utuh. Sekarang atau nanti. Padahal, dia harus selalu memberikan kehidupannya secara utuh kepada lelaki simpatik ini. Hal sangat menyiksa terjadi ketika Berti harus berhadapan dengan Bangkit dan istri secara bersamaan. Kemesraan pasangan suami-itri ini, tidak bisa dipungkiri, menusuk amat dalam ke dalam relung hatinya. Apalagi, pada saat yang sama ikut nimbrung juga anak-anak mereka.vRasanya Berti ingin kabur secepatnya dari tempat itu. Sebaliknya, Berti juga ingin berteriak sekuat-kuatnya untuk memberi tahu bahwa dirinya juga berhak atas lelaki tercinta mereka itu. Maka, jangan memonopolinya secara semena-mena. Satu-satunya yang bisa dilakukan Berti adalah mengeksplorasi cintanya kepada Bangkit ketika mendapat kesempatan bertemu dia. Setiap memeluk pria berbadan tegap itu, dia berkhayal itu adalah pelukan terakhir sehingga harus dinikmati segenap jiwa dan raga. Harus dinikmati sampai melesap ke lubang pori-pori kulit, mengalir ke setiap inci tubuh. Tidak ada yang boleh terlewatkan atas kenikmatan tersebut. Tapi, selalu saja ending-nya menyedihkan: Berti terpaksa harus melepaskan Bangkit kembali ke rumah. Ke anak dan istrinya. Berti menyadari dirinya hanyalah persinggahan bagi Bangkit. Tempat melepas penat. Tempat beristirahat dan tafakur di tengah hiruk pikuk menjalankan biduk rumah tangga bersama istri dan anak-anaknya. “Ada saatnya pengelana berteduh di bawah pohon rindang. Akulah pohon itu, Tante,” kata Berti seolah berfilsafat di hadapan istri Memorandum. (habis)
Sumber: