Ketika Pagar Perlahan Makan Tanaman di Kamar si Sulung (1)

Ketika Pagar Perlahan Makan Tanaman di Kamar si Sulung (1)

Farida (bukan nama sebenarnya) bangga ketika dipinang pria keturunan. Suaminya, sebut saja Bambang, dari keluarga pedagang. Ia dikenal ulet, pendiam, dan gila kerja. “Kalau tidak diajak omong, Bambang tidak akan buka mulut. Andaipun berkata, paling hanya ‘ya’, ‘tidak’, atau ‘terserah’. Bila terpaksa harus menjelaskan sesuatu, baru bicara agak panjang. Walau begitu, tidak akan lebih dari 4-5 kalimat,” kata Farida kepada pengacaranya, sebut saja Ikin, di kantornya, kawasan Pengadilan Agama (PA) Surabaya, beberapa waktu lalu. Menurut Ikin, mulanya keluarga Bambang-Farida berjalan baik-baik saja. Tidak terlalu harmonis, juga tidak terlalu amburadul. Mereka memiliki tiga anak, semua cewek. Dua dari tiga anak-anak tersebut selalu berprestasi di sekolah. Mereka sebut saja Iin, Lia, dan Lingling. Hanya satu yang berbeda, si sulung Iin. Sepintas memang tidak kentara. Iin bahkan terlihat paling cantik dan seksi. Sayang, Iin menderita keterbelakangan mental. “Anak-anak itu sangat menghormati dan patuh kepada ayahnya. Kependiaman Bambang memang segan. Dipandang saja, orang bisa salah tingkah,” cerita Ikin menirukan Farida. Bila harus menggambarkan keluarganya dengan satu kata, Farida pasti hanya punya satu pilihan: bahagia! Tapi itu dulu. Ya, dulu. Tidak sekarang. “Emang kenapa sekarang?” tanya Memorandum kepada Ikin. Pengacara yang mahir mendamaikan pasangan-pasangan yang hendak bercerai ini tersenyum. “Kalau diminta menggambarkan kondisi keluarganya kini, Bu Farida akan tetap mengatakan satu kata. Tapi sebaliknya. Bukan lagi ‘bahagia’, melainkan ‘neraka’,” kata Ikin. Itu terjadi sejak Farida terkena serangan stroke. Pendarahan di batang otak. Parah. Akibatnya fatal. Farida menderita kelumpuhan permanen. “Setelah menginap di rumah sakit sekitar sebulan, dia harus menghabiskan sisa usianya di atas kursi roda,” kata Ikin. Anggota tubuhnya yang sebelah kiri tidak bisa digerakkan. Lumpuh puh-puh-puh. Berbagai terapi sudah dijalani, mulai mengonsumsi ramuan herbal, obat dokter, pijat, sampai tusuk jarum, tapi tidak bisa memberikan perubahan berarti. Farida merasakan gairah seksualnya mati. Malas melayani suami. Walau begitu, Farida tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri. Setiap kali Bambang ingin ber-wikwik, dia tetap berusaha memuaskan suaminya itu. “Memangnya masih bisa melayani suami secara normal?” tanya Memorandum. Heran. “Ngakunya sih bisa. Cuma tidak banyak goyang. Hanya diam dan kluget-kluget,” jawab Ikin diiring senyum, kembali menirukan jawaban Farida. “Suaminya terpuaskan?” “Di sinilah masalahnya,” kata Ikin. (jos, bersambung)  

Sumber: