Cinta Segitiga yang Menyisakan Hanya Satu Sisi (4)
Berencana Meminang di Sela Sambutan Prosesi Pemakaman Jenazah Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Selesai Udin memberikan sambutan, jenazah diberangkatkan. Kulihat Hayong memegang tangan Udin dan sedikit menyeretnya mundur. “Apa maksudmu akan melanjutkan perjuangan almarhum?” tanya mantan penyiar radio itu. Aku ingin menikahi Muniah, Pa,” kata Udin singkat. “Tapi suaminya baru meninggal. Lagi pula dia hamil.” “Justru karena itu.” “Tidak semudah itu, Din.” “Apa pun itu, kalau kita jalani dengan ikhlas, semua akan mudah.” Suasana hening. Kami tenggelam dalam lamunan masing-masing. “Sebenarnya aku ingin meminang Muniah dalam sambutan tadi. Tapi rasanya tidak etis,” kata Udin, yang menjelaskan bahwa awalnya dia mengajak Memorandum justru untuk menyaksikan dia melamar Muniah pada prosesi pemakaman sabatnya, Untung. Ini, menurut Udi, adalah sesuatu yang langka. Unik. Pasti viral. Makanya dia sengaja men-shooting selfie sambutannya tadi. Tapi tidak kesampaian. Mulutnya terasa berat untuk menungkapkan kalimat-kalimat lamaran. Pikirnya, sangat tidak etis. Makanya diurungkan. Udin mengaku ingin memberikan dorongan semangat kepada Muniah. Supaya perempuan itu tidak down. Supaya perempuan yang wajahnya mengundang perlindungan itu tetap tegar menjalani hari-hari ke depan. “Sudah kau pikir masak-masak?” sela Hayong. “Sudah Pa,” jawab Udin mantab. Percakapan kami terhenti. Kami sudah sampai di permakaman. Setelah prosesi tuntas, kami langsung pulang tanpa kembali ke rumah duka. Kami tadi memang sudah sekalian pamit. “Kamu harus mematuhi cara-cara agama. Misalnya menunggu masa iddah dll.” “Aku siap, Pa.” “Kau sudah menanyai dan mendengarkan kesediaan Muniah?” “Belum sih, Pa.” “Yo ngene iki arek enom. Grusa-grusu. Tidak mau minta pertimbangan orang tua. Kita dianggap expired. Dianggap sudah kuno. Tapi kalau ada apa-apa, ya orang tua yang kena getahnya,” Hayong ngedumel. Dia mengingatkan Udin agar sabar menunggu saat yang tepat untuk meminang Muniah. Jangan pada saat-saat berkabung seperti ini. Kayak sinetron Indonesia saja yang ceritanya selalu tidak masuk akal. Udin hanya nyengir diingatkan ayahnya. “Nanti dalam resepsiku, Pakde Yuli saja yang mewakili keluarga pengantin laki-laki. Lebih moderat,” celetuk Udin. “Tapi suaranya enak Papamu. Mantan penyiar radio. Siapa orang-orang jadul Mojokerto yang tidak kenal Kak Hayong?” kata Memorandum. (bersambung)
Sumber: