Jangan Kau Bunuh Anak yang Kau Lahirkan (3-habis)
Berbeda dengan Jaka, Titik dengan ikhlas bisa menerima kehamilannya. Ia bahkan sempat berharap anak yang dikandungnya ini berjenis kelamin laki-laki. Pemikiran yang berbeda antara Jaka dan Titik menimbulkan ketegangan. Mereka sempat beberapa hari menutup jalur komunikasi. Pada saat itulah, merasa sebagai kepala rumah tangga, Jaka menggunakan hak veto: perintahnya harus dijalankan! Titik tidak berdaya. Esoknya, kehendak Jaka direalisasikan. Kehamilan Titik harus digugurkan. Mereka lantas mendatangi dokter. Dokter mempersilakan Titik masuk ruang praktik. Cukup lama. Hampir sejam. Saat keluar, Titik dipapah dokter yang membawa bungkusan plastik. “Ini dikubur ya Pak,” kata dokter kepada Jaka sambil menyerahkan bungkusan. Sesampai rumah, bungkusan dari dokter tadi lantas dikubur di halaman belakang rumah. Malam-malam. “Waktu itu hati ini merasa lega, Pak Yuli. Sungguh. Tak tahunya…” Jaka kembali menangis. Semula-mula lirih tapi semakin lama semakin keras. Memorandum yang takut tangis Jaka mengganggu majelis lantas mengajak pria berkumis tipis ini keluar ruang utama masjid. Bergeser ke teras samping dekat toilet. Lama Jaka tenggelam dalam tangis. Memorandum sengaja membiarkan. Memberi kesempatan Jaka menghabiskan sisa air matanya. Biar hatinya lega. Biar kembali blong. “Aku dosa besar, Pak Yuli. Aku orang syirik, dan tega-teganya memaksa istri ikut syirik,” tuturnya lirih tanpa mengubah posisi kepalanya yang masih disimpan di antara kedua tekukan kaki. Tanpa kami sadari, ternyata Titik sudah berdiri di dekat kami. Rupanya majelis taklim sudah selesai. Ruang utama masjid sudah sepi. Baik dari jemaah perempuan maupun jemaah laki-laki. Titik kemudian jongkok di sebelah Jaka dan merangkul pundaknya. “Mengapa Bapak menangis?” tanya Titik. Jaka menoleh dan segera memeluk Titik. “Maafkan aku, Buk. Aku telah menjerumuskan Ibuk ke jurang kemusyrikan,” kata Jaka sambil mempererat pelukan. Memorandum serasa melihat potongan sinetron di televisi. “Lho, siapa yang musyrik?” tanya Titik ringan. Tanpa beban. “Maafkan aku telah memaksa Ibuk menggugurkan kandungan Ibuk. Membunuh bayi kita,” kata Jaka. Kembali tangisnya pecah. “Siapa yang menggugurkan kandungan? Bungkusan yang Bapak tanam di halaman belakang rumah itu tah? Bapak mengira itu jainin bayi kita?” Jaka tercengang. Diam sejuta bahasa. “Itu sampah. Bungkusan sisa sarapan kami. Sarapanku dan Bu Dokter.” (jos, habis)
Sumber: