Ratusan Mangrove Rusak, Pegiat Lingkungan Sesalkan Pengerukan Sembrono DSDABM di Sungai Wonorejo

Ratusan Mangrove Rusak, Pegiat Lingkungan Sesalkan Pengerukan Sembrono DSDABM di Sungai Wonorejo

Surabaya, memorandum.co.id - Pegiat lingkungan yang tergabung di Komunitas Nol Sampah menyayangkan normalisasi yang dilakukan secara sembrono oleh Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Surabaya di sungai kawasan Mangrove Wonorejo. Akibat normalisasi saluran air atau pelebaran sungai dengan melakukan pengerukan lumpur itu, menyebabkan ratusan pohon dan anak mangrove berusia 1-2 tahun rusak dan mati. Hal ini disebabkan endapan lumpur hasil pengerukan sengaja dibuang di ekosistem mangrove sepanjang 500 meter. "Pernyataan pejabat pemkot tentang tidak ada penebangan dan lumpur ditempatkan di lahan yang tidak ada mangrove salah besar. Nyatanya, ada ratusan mangrove yang jadi korban. Ada beberapa pohon yang dipangkas mungkin bisa tumbuh, tetapi sebagian besar ya pasti mati," urai Koordinator Komunitas Nol Sampah Wawan Some, Selasa (6/9/2022). Aktivis lingkungan ini menjelaskan, Mangrove Wonorejo merupakan kawasan konservasi, sehingga kelestariannya perlu untuk dijaga. Terlebih, Surabaya telah memiliki Perda 19/2014 tentang Perlindungan Pohon. Selain itu, kawasan Mangrove Wonorejo juga telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan ruang terbuka hijau (RTH). Ketetapan ini telah diatur dalam Perda 3/2007 tentang Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW). Karena itu, pihaknya menyesalkan upaya perusakan dan penebangan ratusan pohon mangrove oleh DSDABM atas dasar normalisasi sungai. "Pengerukan sungai boleh, tapi bisa kan lumpur ditempatkan di titik-titik tertentu, misalnya setiap 100 meter," tandasnya. "Jadi kita sangat menyayangkan, semestinya (normalisasi) dikoordinasikan dengan dinas lain. Mangrove Wonorejo itu masuk kawasan konservasi, kewenangan di DKPP," sambung Wawan. Wawan juga menyoroti sejumlah pernyataan pejabat DSDABM yang dinilainya perlu diluruskan, sebab tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Pertama yakni, mengenai kondisi sungai di kawasan Mangrove Wonorejo yang dikatakan menyempit. "Sungai Avour Wonorejo tidak pernah menyempit apalagi dari 30 meter jadi 20 meter, kalau pendangkalan benar. Kita mendampingi petani tambak di Wonorejo sejak tahun 2007, dan sungai Avour Wonorejo tetap seperti ini lebarnya. Bahkan sebelum ditanami mangrove tahun 2012 sering terjadi tepi sungai longsor, tapi setelah ada mangrove akarnya menguatkan tepi sungai," urai Wawan. Kekeliruan berikutnya mengenai tujuan normalisasi. Wawan merasa aksi DSDABM tidak bisa dibenarkan karena menormalisasi sungai tapi dengan merusak alam. Mengingat, lumpur hasil pengerukan ditempatkan pada lokasi sepanjang 500 meter lebih dan ditumbuhi mangrove, baik pohon dan anak mangrove yang baru 1-2 tahun ditanam. "Pernyataan normalisasi sungai untuk pembenaran penebangan dan penimbunan mangrove di kawasan konservasi adalah salah besar. Perlu dicek ke lapangan kondisinya seperti apa," tandas dia. Sementara itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Surabaya Antiek Sugiharti menjelaskan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan DSDABM mengenai keluhan tersebut. "Hasil koordinasi dengan DSDABM, pengerukan saluran Wonorejo tersebut untuk meningkatkan dan optimalisasi fungsi saluran yang bermuara di Bozem Wonorejo,” kata Antiek. Dia menjelaskan, pengerukan tersebut juga berkaitan dengan penanganan kondisi banjir beberapa waktu lalu di kawasan Surabaya Timur. Adapun penampungan hasil pengerukan, kata Antiek, secara teknis telah diarahkan sebisa mungkin pada tempat-tempat yang tidak ada mangrove agar tidak merusak tanaman mangrove. “DSDABM akan melakukan pengecekan atau monitor pekerjaan pengerukan, guna memastikan agar kegiatan tersebut tidak mengganggu atau merusak tanaman mangrove. Dan DKPP bersama-sama dengan OPD dan masyarakat akan melakukan reboisasi, penanaman mangrove pasca kegiatan pengerukan,” tandasnya. Sedangkan Kepala Bidang Drainase DSDABM Surabaya Eko Juli Prasetya mengatakan bahwa normalisasi saluran air dengan melakukan pengerukan lumpur sungai tersebut dilakukan untuk mengembalikan lebar sungai seperti keadaan awal. “Pengerukan memang untuk saluran sungai. Artinya, mengembalikan lebar sungai seperti semula. Dulu lebarnya 30 meter, di lapangan sekarang tinggal 20 meter dan yang 10 meter itu ditanami mangrove,” kata Eko. “Ke depannya, kita akan duduk bersama dengan aktivis lingkungan agar tidak saling menyalahkan, karena kalau ingin menanam mangrove itu terkait fungsi saluran sungai harus di sebelah mana, karena masih di dalam lingkup sungai,” terangnya. (bin)

Sumber: