Istri Pembawa Bahagia dan Istri Pembawa Bencana (4)
Puncak kengerian Tejo terjadi suatu sore, ketika Nunung menyampaikan berita penting. Bagi Nunung, ini berita yang diyakini bakal menggembirakan Tejo. Berita yang sudah lama ditunggu-tunggu. “Dengan bangga Nunung menunjukkan surat dokter bahwa dirinya hamil. Dia menyampaikan berita ini sambil melonjak-lonjak gembira. Dia ciumi aku. Dia peluk aku,” tutur Tejo. Raut wajah sedih tampak pada ekspresinya. Tapi, Tejo diam saja. Dia tak mampu merespons lebih dari itu. Sebab, respons spontan malah bakal menjadikan dirinya seperti kobaran api yang membakar semua. Perlahan-lahan Tejo berdiri dan berjalan menuju kamar. Menguncinya dari dalam. Dia tidak peduli apa yang dipikirkan Nunung, wong perempuan itu sudah terbukti sangat merendahkannya. Membanting harga dirinya. Menginjak-injak. Meludahi bahkan mengencinginya. Tejo pantas marah. Dia merasa harga dirinya dibanting ke tempat yang paling kotor, berbatu runcing, dan disambar muntahan lahar gunung berapi. Makanya dia spontan meninggalkan Nunung. “Mana mungkin dia hamil? Dulu, ketika lebih dari lima tahun pascanikah dengan Lili, kami belum dikasih momongan, Lili ngotot ingin memeriksakan kesuburan kami. Waktu itu sebenarnya aku tidak menolak. Tapi, lebih tepatnya menghindar. Aku ingin terlebih dulu memeriksakan diri,” tutur Tejo dengan sedih. Beberapa waktu kemudian Tejo memeriksakan diri. Hasilnya seperti yang dia khawatirkan: Tejo tidak mungkin bisa memberikan benih keturunan. Sebab, ada kelainan hormonal yang menyebabkan spermanya tidak mampu bertahan hidup di rahim perempuan. Perempuan mana pun. Kandungan asam yang melindungi setiap rahim membunuh dengan mudah sel-sel sperma Tejo. Tejo tidak putus asa. Dia mencari dokter lain sebagai second opinion. Hasilnya sama. Demikian juga ketika dia mendatangi dokter ketiga dan keempat. Idem ditto, sami mawon. Setelah itu Tejo berusaha mengobatkan diri. Tjuannya untuk memperkuat daya tahan sperma yang dia semprotkan ke rahim istrinya. Usaha dari dokter pertama gagal. Usaha dokter kedua dan ketiga, juga gagal. Demikian hingga dokter ketujuh. Ketika nyaris menyerah, Tejo berjumpa dengan seorang teman penganut Islam kejawen. Namanya Supriadi, namun teman-teman dekatnya lebih sering menyapa dia dengan sebutan Mbah Kung. Orangnya belum tampak sepuh pada usianya yang mendekati kepala enam. Masih energik dan murah senyum. Hobi ngrokok dan ngopi-nya sulit dia tinggalkan. Juga, hobi makan berlauk jerohan. Dia suka membeli nasi babat di dekat rumah pemotongan hewan Kedurus, dekat Polsek Karangpilang. (jos, bersambung)
Sumber: