Istri Pembawa Bahagia dan Istri Pembawa Bencana (1)

Istri Pembawa Bahagia dan Istri Pembawa Bencana (1)

Tejo (samaran) mengaku tidak mau lagi melihat wajah istrinya, sebut saja Nunung. Karena itu, pengusaha tajir ini berencana menceraikan istri keduanya tersebut. Nunung dianggap pengkhianat dan pembohong. Perempuan lacur. Tejo menikahi Nunung sekitar tiga tahun lalu. Perempuan ini menggantikan posisi istri pertama Tejo, sebut saja Lili, yang meninggal setahun sebelumnya. Lili dipanggil ke haribaan Yang Mahakuasa dalam kecelakaan lalu lintas sepulang berbelanja. Menurut Tejo, rumah tangganya bersama Lili berjalan harmonis, meski mereka tidak dikaruniai momongan. “Kami menjalin kasih selama tepat 10 tahun. Tidak lebih, tidak kurang,” kata Tejo mengenang masa lalunya. Hal itu dia ungkapkan di kantor pengacaranya sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya. Kecelakaan yang merenggut nyawa Lili itu terjadi sepulang dia membeli Alquran di Gramedia, Royal Plaza. Kitab suci itu akan diberikan sebagai hadiah ulang tahun Tejo, malam harinya. Tejo kebetulan baru dinyatakan lulus program dasar membaca Alquran di Griya Alquran. Diakui pengusaha air minum dalam kemasan warga Wonokromo ini, waktu kecil sebenarnya dia sudah bisa membaca Alquran, namun sangat jauh dari sempurna. Jangankan sempurna, benar tajwid­-nya saja tidak. Dia belajar ala kadarnya kepada ustaz kampung di langgar dekat rumah. Seingatnya, itu terjadi selama dia duduk di kelas tiga hingga kelas enam sekolah dasar (SD). Begitu masuk SMP, dia tidak pernah lagi pergi ke langgar. Jangankan mengaji, salat di rumah saja saja sudah jarang dia lakukan. “Pada awal berumah tangga, sebenarnya Lili sudah mengingatkan aku. Ya soal salat, ya soal ngaji, ya soal ibadah-ibadah yang lain. Tapi, semua nasihat itu masuk telinga kiri dan keluar lagi dari telinga kiri juga. Mending kalau keluar dari telinga kanan, mungkin ada sedikit-sedikit yang nyanthol,” tutur pria berpenampilan keren ini. Tejo baru mau salat dan mengaji setelah diancam istrinya yang lulusan pondok pesantren di Ngawi ini. Tejo sebenarnya tahu bahwa ancaman Lili itu tidak lebih dari gertak sambal, walau begitu cara tersebut benar-benar mengena di hatinya. Lili mengancam bakal meninggalkan Tejo andai bersikeras tidak mau juga menjalankan syariat yang paling dasar dalam beragama: salat dan mengaji. “Dia tahu aku teramat sangat mencintainya sekali. Berlebihan ya? Tapi, memang kenyataanya aku tidak bakalan bisa hidup tanpa dia,” tegas Tejo, yang mengucapkan ini seolah tidak ada perempuan di dunia ini selain Lili. Nah, tiga minggu pascaancaman itu, ketika Tejo belum juga mau salat dan mengaji, Lili berpamitan pulang ke rumah orang tuanya di Paciran, Lamongan. Tentu saja Tejo mengizinkan. Mana mungkin dia tidak mengizinkan istrinya bersilaturahmi ke orang tua sendiri? Lewat dari tiga hari, sebagaimana kebiasaan Lili kalau pulang kampung, kali ini dia tidak segera pulang. Demikian juga ketika sudah lewat empat, lima, enam, lima, enam hari, Lili belum juga pulang. Padahal, Tejo sudah cemot-cemot menanggung rindu dan ada belahan tubuhnya yang cenut-cenut menahan curahan kasih sayang. (jos, bersambung)    

Sumber: