Pilih dengan Akal Sehat
Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Hari pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif tinggal beberapa bulan. Banyak yang kita mendengar dan membaca dari berbagai media terkait taktik dan strategi para kontenstan. Ada yang memberi inspirasi, sebaliknya lebih banyak yang justru membikin rakyat muak mengonsumsinya. Kontestan yang menginspirasi punya kebiasaan yang positif ketika melakukan aksi sosialisasi ke masyarakat pemilih. Mereka mengedepankan program sebagai andalan untuk menarik simpati pemilih, meski juga berani mengkiritisi kebijakan yang dianggap memberatkan rakyat. Sebaliknya, tidak bagi kontestan yang tidak dikehendaki rakyat pemilih. Kontestan ini bisanya hanya nyinyir, menyerang kebijakan tanpa memberikan solusi program terbaik dalam setiap aksi sosialisasinya. Inilah kenyataan yang jamak terjadi di dunia politik tanah air. Fakta ini sering diistilahkan sebagai dinamika politik Indonesia. Kita juga melihat fakta itu saat ini, menjelang pilpres dan pileg. Yang paling terasa pada persaingan kedua calon presiden. Tim sukses masing-masing kubu masih hanya saling serang. Saling menjelekkan. Saling mengumbar aib calon lawan, meski dengan dalih adu program. Tidak ada nilai inspiratif yang bisa diambil masyarakat calon pemilih. Terakhir soal isu calon presiden harus menjalani tes membaca Alquran. Siapa yang sebenarnya menuntut ini? Panitia pemilihan umum? Rakyat? Rakyat yang mana? Sebenarnya tidak ada rakyat yang menginginkan ini. Agama adalah hak privasi masing-masing pribadi yang diatur dalam Pancasila: sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan lagi, dalam peraturan KPU tidak ada sama sekali keharusan bagi calon presiden dan wakilnya untuk dites membaca Alquran. Begitu pula soal debat calon presiden yang harus mengajukan visi-misi, ini tidak seharusnya dipersoalkan karena sudah menjadi syarat dan aturan dalam pemilihan presiden. Dari kedua contoh kasus ini, tampak kedua kubu calon presiden sama sekali tidak memberikan inspirasi positif bagi rakyat pemilih. Begitu pula yang terjadi pada calon legislatif. Mereka melakukan cara-cara sosialisasi yang tergolong masih amatiran. Pasang baliho sana-sini. Menghadiri undangan dan mengundang rakyat sana-sini. Memberi bantuan sana-sini. Semua itu tak lebih dari pembenaran atas citra diri para calon legislatif. Belum sama sekali terlihat gerakan para calon legislatif yang bisa mengubah paradigma masyarakat ke arah pemikiran yang lebih maju. Padahal, kini masyarakat kita jauh lebih pandai dibanding lima tahun lalu. Tentu saja masyarakat kita akan memilih para wakilnya di parlemen serta memilih presiden dan wakil presiden dengan akal sehat. Tak lagi tergiur uang recehan, janji, dan retorika kosong yang sama sekali tidak memberikan inspirasi untuk bangsa. Jadi, janganlah meremehkan rakyat. Rakyat sudah banyak yang mengedepankan akal sehat untuk menentukan langkah. Termasuk menentukan presiden dan wakilnya di lembaga legislatif. (*)
Sumber: