Cinta Suci Terbenam Dalam Lumpur Menjijikkan (7-habis)
Samar-samar terlihat pergumulan seru. Seperti singa padang pasir vs kuda nil Mesir. Panas. Eli mencari-cari titik focus teropong. Ternyata lawan bergumul Budi adalah pamannya, Supri. Sudah. Ini yang terakhir. Suci harus tahu. Apalagi, dalam beberapa kali diskusi akhir-akhir ini Sucih sudah berancang-ancang ingin mengajukan gugatan cerai terhadap Budi. Dia menyatakan tidak ingin terlalu lama tersesat dalam lubang kemaksiatan. Begitu acara di vila selesai, Eli berpamitan dulu kepada teman-teman untuk segera pulang. Dia naik Grab. Biarlah yang lain, yang masih ingin mengisi weekend-nya, menuruskan agenda acara yang sudah ditetapkan. Eli tak menyangka di keluarganya ada dua orang terlaknat. Makanya selama ini Supriadi sering dolan ke rumah. Katanya sekadar main-main, melihat tubuh-tubuh muda peserta senam. Eli memaklumi. Mata laki-laki. Tapi, apa yang sesungguhnya terjadi? Entah sudah berapa lama mereka mempraktikkan itu. Sabtu malam Eli sudah sampai rumah. Dia langsung membuka pintu, karena setiap anggota keluarga memang dipegangi masing-masing satu kunci duplikat pintu utama. Suasana terasa lengang. Sepi. Tidak ada bunyi selirih apa pun. Suci pasti sedang berhura-hura dengan teman-teman arisannya entah di mana. Biasanya Suci pulang dini hari. Ningsih pasti ribet dengan pekerjaan rewang-nya di acara resepsi. Dan, tidak disangka Budi sedang mengkhianati cintanya kepada Suci dengan berselingkuh vs sang paman, Supriadi. Padahal, selaki tersebut sudah paruh baya. Tenaganya pasti tidak fit lagi. Dari selonjoran di sofa, Eli bermaksud bangun dan istirahat di kamar. Dia pun mengangkat tubuhnya yang semi-semiberat. Sucis-Sucisan. Akhirnya usaha Eli berhasil. Dia dapat mendekati kamar. Namun, sesuatu di luar dugaan terjadi. Eli mendengar keributan kecil dari kamar tidur utama. Pelan-pelan Eli mengintipnya. Astaghfirullah… sesuatu di luar akal sehat sedang berlangsung. Suci memagut mesra dagu Ningsih. Begitu berbalas secara berulang-ulang dan bertubi-tubi. Pelan-pelan Eli mundur. Secepatnya lari keluar rumah dan menuju masjid terdekat. “Untung mereka belum tahu keberadaanku,” kata Eli. Dia minta izin tidur di masjid, tapi tidak diperbolehkan takmir. Eli ditampung di rumah salah satu takmir. Keesokan harinya, dia pulang seperti biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa. “Eli, besok kita masukkan gugatan cerainya. Sudah beres semua,” kata Suci sambil menyuap sesendok sarapan. Budi tidak merespons. Hanya tersenyum. Eli pun hanya mengangguk. “Biarkan semua keruwetan ini berakhir,” tuturnya seperti pada diri sendiri. (jos, habis)
Sumber: