Sidang Pemalsuan Surat Kuasa, Notaris Tak Bisa Menggugat Penjual dan Pembeli

Sidang Pemalsuan Surat Kuasa, Notaris Tak Bisa Menggugat Penjual dan Pembeli

Surabaya, Memorandum.co.id - Sidang lanjutan perkara pengunaan surat palsu yang melibatkan pasang suami istri (pasutri) yang berprofesi sebagai Notaris yakni Edhi Susanto dan Feni Talim berlanjut. Pada persidangan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Suparno di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan agenda keterangan ahli. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakmad Hari Basuki dari Kejaksaan Tinggi Jawa ahli yakni Dian Purnama Anugerah dari Universitas Airlangga Surabaya. Dian Purnama menjelaskan bahwa, sebagai seorang Notaris mengikat sumpah pejabat Notaris yang harus dijalankan dengan jujur, teliti serta adanya kecermatan dalam menbuat akta. Notaris harus bertanggung jawab kebenaran penghadap dan juga Notaris bertangung jawab kepada Negara. "Apabila penghadap tidak datang dihadapan Notaris, maka akta yang dituangakan berpontesi tidak benar (cacat) dan juga bisa berpotensi Pidana," jelas Dian saat memberikan pendapatnya di ruang Garuda ll, Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (11/8). Masih kata ahli, kalaupun Notaris tahu para pihak (penghadap) ataupun dengan surat kuasa tidak datang, maka seharusnya tidak perlu diteruskan membuat akta dan dokumen-dokumen yang diserahkan kepada Notaris bisa dikembalikan ke para Pihak tersebut. Perlu diperhatikan bahwa notaris mempunyai kewenangan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) untuk Akta Jual Beli (AJB) seperti tanah itu kewenagan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPATK). "Notaris mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan (checking) dan Notaris tidak bisa melimpahkan kesalahan kepada terhadap pegawainya, karena akta adalah produk dari notaris," kata Dian Purnama Anugerah yang juga mantan Majelis Pengawas Notaris tersebut. Disinggung JPU apakah seorang Notaris bisa melakukan gugatan kepada penjual atau pembeli, Dian mengatakan tidak bisa. "Seorang Notaris tidak bisa melakukan gugatan, dikarenakan tidak ada legal standingnya," tegas saksi ahli. Terpisah, penasihat hukum terdakwa Peter Talaway mengatakan bahwa, dalam persoalan ini yang dipermasalahkan adalah bukan akta otentik, melainkan akta dibawah tangan. "Jadi keterangan saksi ahli tadi, meringankan terdakwa," dalihnya. Untuk diketahui, terdakwa Edhi Susanto pernah menggugat pelapor dalam perkara ini, Itawati Sidharta. Gugatan tersebut terkait wanprestasi tertanggal 31 Maret 2022 dengan Nomer Perkara 329/Pdt.G/2022/PN Sby. Edhi Susanto, SH, MH sebagai pengugat dengan kuasa hukum pengugat Silvi Poernomo dan tergugat adalah CV. Saudara. Yang mana dalam petitumnya. Memerintahkan Tergugat Untuk menyerahkan 3 ( Tiga ) Buah Sertifikat Hak Milik ASLI Kepada Sdr. Hardi Kartoyo dan Itawati Sidharta Dihadapan Sidang Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu Sertifikat Hak Milik No. 78/K Luas 720 M2 menjadi No. 0078 Luas 562 M2 Atas Nama Nyonya Sie Bie Bie disebut juga Itawati Sidharta, Sertifikat Hak Milik No. 721 Luas 602 M2 menjadi No. 01614 Luas 591 M2 Atas Nama Itawati Sidharta dan Sertifikat SHM No. 328 / K Luas 931 M2 Atas Nama Itawati Sidharta. Dan pada akhirnya, pada 7, Juni 2022 pengugat melakukan pemencabutan perkara yang diajukan dan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Menyatakan pemeriksaan perkara perdata Nomor 329/Pdt.G/2022/PN.Sby. dihentikan . Memerintahkan kepada Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Surabaya untuk pencabutan perkara Nomor 329/Pdt.G/2022/PN.Sby. tersebut dari register Perkara Perdata yang sedang berjalan. Dalam dakwaan JPU sebelumnya, terjadinya kasus pemalsuan surat tersebut bermula pada pertengahan 2017, dimana saat itu Hadi Kartoyo (korban) bertujuan menjual 3 bidang tanah dan bangunan miliknya kepada Triono Satria Dharmawan. Ketiga aset tersebut tercatat dengan atas nama istri korban, Itawati Sidharta. Hardi menjalin kesepakatan dengan Triono bahwa harga ketiga aset yang terletak di Jalan Rangkah, Tambaksari tersebut senilai Rp 16 miliar. Untuk pembelian aset itu, rencananya akan dibiayai oleh pihak Bank Jtrust Kertajaya. Kemudian Edhi Susanto, Notaris yang berkantor di Jalan Anjasmoro no 56 B Surabaya itu ditunjuk oleh pihak bank untuk memfasilitasi proses jual beli antara Triono Satrio Dharmawan dengan Hardi Kartoyo dan isterinya tersebut. Lebih lanjut, Hardi menyerahkan SHM 3 aset itu kepada Edhi Santoso untuk checking sertifikat di BPN Surabaya II. Sedangkan Triono memberikan cek sebesar Rp. 500 juta kepada Edhi untuk diserahkan kepada Hardi sebagai uang tanda jadi atau DP atas pembelian tanah dan rumah milik korban. Cek tersebut lalu diserahkan kepada Hardi dengan catatan apabila hasil checking cek terhadap 3 SHM tersebut bermasalah dan pihak penjual membatalkan transaksi, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pembeli tanpa potongan. Namun saat pengurusan maupun checking tidak segera diselesaikan, Edhi Susanto, malah membuat dan memberikan Surat pernyataan yang isinya apabila dalam waktu 2 bulan ternyata belum terjadi transaksi jual beli antara Hardi dan Triono, maka uang DP dianggap hangus dan sertifikat asli dikembalikan. Setelah ditunggu-tunggu juga tidak ada kelanjutannya proses jual beli tersebut selanjutnya Hardi sering datang ke kantor notaris Edhi Susanto dengan maksud meminta sertifikat tersebut. Tetapi, Edhi Susanto, tidak bersedia menyerahkan sertifikat tersebut tanpa alasan yang jelas. Sementara itu, yang dilakukan Feni Talim yaitu mengurus checking sertifikat di Kantor BPN Surabaya ll. Caranya, terdakwa mengambil dokumen sertifikat yang dibutuhkan dari dalam lemari di kantor suaminya itu. Namun, dari ketiga sertifikat tersebut, hanya satu yang lolos karena tidak ada perubahan. Sedangkan dua SHM lainnya masih ada kendala yaitu karena harus ada perubahan logo blangko dari Bola Dunia menjadi logo Garuda sert ada perubahan luas akibat potong jalan (rilen). JPU Hari Basuki menambahkan bahwa setelah tidak disetujui Feni datang lagi ke kantor BPN Surabaya II untuk melakukan pengurusan pengecekan sertifikat dengan membawa dokumen yang dibutuhkan antara lain surat kuasa dari Itawati Sidharta kepada dirinya. “Padahal, Itawati Sidharta selaku pemegang hak atas tanah tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa tertanggal 31 Januari 2018 dan tertanggal 9 Februari 2018 tersebut. Dalam surat kuasa tersebut terdapat tanda tangan terdakwa Feni sebagai penerima kuasa, diketahui oleh notaris Edhi Santoso,” imbuhnya. Kemudian, jelas JPU, terdakwa Feni juga membuat surat pernyataan selisih luasan tanah dan surat pernyataan menerima hasil ukur. Atas kelengkapan yang dibutuhkan oleh pihak BPN Surabaya II itu kemudian disetujui. Akibat perbuatan kedua terdakwa, Itawati Sidharta mengalami kerugian menyusutnya luas lahan miliknya dan juga perubahan atas sertifikat tersebut. Perbuatan terdakwa Feni Talim sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP. Sedangkan terdakwa Edhi Santoso sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP. (jak)

Sumber: