Cinta Suci Terbenam Dalam Lumpur Menjijikkan (4)

Cinta Suci Terbenam Dalam Lumpur Menjijikkan (4)

Selama menikah, sekali pun Suci tidak pernah diajak keluar rumah untuk sekadar makan malam di luar. Nonton. Atau jalan-jalan. Sama sekali tidak pernah. Di rumah saja, kerja Budi hanya tidur dan nge-gym.. Pukul 10.00 tet dia sudah disibukkan urusan sebagai instruktur senam. Baik di rumah maupun memenuhi panggilan klien. Setiap hari Budi melatih senam di sanggar yang dibangun di samping rumah. Sejak pukul 10.00 hingga pukul 12.00. Di luar itu, Budi melayani panggilan. Ada yang kelompok, namun tidak jarang yang pribadi. Personal. Biasanya yang minta dilatih secara personal adalah wanita-wanita karier muda atau istri-istri pejabat. Sosialita. “Jujur saja, Mbak Suci sempat cemburu kepada istri-istri pejabat itu. Mereka endel-endel. Genit,” kata Eli, yang mengaku dirinya sendiri juga memiliki perasaan yang sama. Sejak Suci menikah, Eli memang ikut tinggal serumah dengan saudara sepupunya itu di Surabaya. Eli kuliah di perguruan tinggi negeri kawasan Surabaya Barat. Saking jengkelnya terhadap emak-emak tadi, Eli mengaku pernah nekat ngikutin salah satu dari mereka, yang sepulang senam privat di rumah, menunjukkan gerak-gerik mencurigakan. Benar. Seperti dugaan Eli, wanita ber-make up murup itu janjian dengan Budi. Mereka sepakat ketemu di ujung jalan. Budi menunggu di balik pohon. Begitu mobil wanita murup tadi melintas dan berhenti sejenak, Budi segera masuk. Eli yang membawa motor mengikuti dari belakang. Ternyata mobil sosialita tadi mengarah ke Jalan A Yani, terus lurus ke selatan. Arah Sidoarjo. “Aku kira mereka bakal masuk tol, karena di bundaran Waru sempat belok ke kanan,” kata Eli. Ternyata mereka hanya mengitari bundaran, terus bablas ke selatan. Entah apa maksudnya pakai puter-puter segala. Tetapi tidak ke arah Kota Sidoarjo, mobil banting setir ke kiri begitu sampai Aloha. “Masa mereka ke Juanda? Tapi, mau ke mana? Masa ke Singapura?” Dibatin begitu, tiba-tiba mobil berkelok ke sebuah hotel. Sliut… Eli mengikuti. Ternyata mereka memesan kamar. Beberapa kali Eli memastikan Budi masuk hotel bersama wanita. Semua murid senamnya. Usianya bervariasi. Mulai yang masih muda denok-denok debleng hingga yang sudah oma-oma dan kulitnya perlu diseterika. Uniknya, Budi selalu tampak mesra justru ketika berjalan dengan golongan oma-oma. Mereka selalu berangkulan atau minimal bergandengan. “Aku masih menyimpan rahasia itu untuk diri sendiri. Kasihan Mbak Suci karena terlalu tinggi menaruh harapan kepada Mas Budi. Kalaupun terpaksa harus menyampaikannya, aku tidak tahu harus memulai dari mana,” kata Eli bernada keluhan. (jos, bersambung)

Sumber: