Membahayakan, Trans Icon Mall Surabaya Nekat Buka tanpa SLF
Surabaya, memorandum.co.id - Mal di dalam kawasan apartemen megah The Trans Icon Surabaya hendak dibuka pada 5 Agustus 2022 mendatang. Padahal sampai saat ini, proyek prestisius yang menggabungkan hunian, komersial, dan rekreasi milik bos CT Corp Chairul Tanjung itu belum mengantongi sertifikat laik fungsi (SLF). Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman serta Pertanahan (DPRKPP) Surabaya, Irvan Wahyudrajad. "Belum ada (SLF). Kami sudah kirim surat pemberitahuan untuk pengurusan SLF ke developer The Trans Icon Surabaya," ujarnya, Senin (1/8/2022). Irvan menyatakan, mengenai kewajiban SLF, saat ini pihaknya tengah berkonsentrasi kepada bangunan tinggi yang berdiri di atas 8 lantai. Seperti misalnya, apartemen, hotel, dan mal. Dengan tingginya bangunan yang berdiri itu, dinilainya lebih rawan dan berpotensi mengalami kerusakan struktur. "Karena memang huniannya paling tinggi, jadi rawan kalau terjadi kebakaran maupun kerusakan struktur dan sebagainya," ujar dia. Irvan lantas mengimbau kepada para pemilik bangunan gedung agar segera mengurus SLF. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Mantan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya itu menegaskan bahwa pemilik bangunan gedung dapat dikenai sanksi apabila belum memiliki SLF. Namun, sebelum diberikan sanksi, pihaknya akan memberikan peringatan dahulu secara bertahap. "Jadi setelah teguran atau peringatan ketiga kali, ada bantib (bantuan penertiban). Kalau diabaikan, maka akan kita segel dulu, baru kita lakukan penutupan," imbuhnya. Sementara itu, saat memorandum.co.id melakukan konfirmasi langsung ke bagian resepsionis The Trans Icon Surabaya, salah satu staf menjelaskan bahwa bangunan apartemen dan mal menjadi satu bagian yang tak terpisahkan. Sehingga kewajiban perizinan bangunan gedung seperti, izin mendirikan bangunan (IMB), analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), hingga SLF saling berkaitan. "Pengelolaan gedung yang berbeda. Jadi ada divisi masing-masing untuk mengelola apartemen maupun mal," kata staf perempuan itu. Disinggung mengenai kelengkapan perizinan, dia tak dapat mengungkapkan lebih jauh. Begitu pun soal kewajiban SLF. Hal tersebut, kata dia, menjadi kewenangan staf legal untuk mengurai alasan mengenai belum adanya SLF. "Kalau soal itu, kami tidak dapat menjelaskan. Coba langsung ke staf legal yang lebih mengetahui soal perizinan," tandasnya. (bin)
Sumber: