Kisah Cinta yang Yatim Piatu sejak Balita (4)
Momen itu dirasakan Cinta bagai pengharapan. Dan, ia ingin mengembangkan harapan tersebut menjadi kenyataan demi kenyataan. Cinta gelisah. Dia merasa remasan tangan hangat Toni tempo hari masih melekat di dasar hati. Bersemi di sana, menjelma menjadi ribuan tangkai bunga warna-warni. Semerbak mewangi. Indah. Sejuk. Bagai kepingan surga yang jatuh di dada. Ah… Sungguh, Cinta ingin menghubungi Toni, tapi takut ketahuan Nia. Jadi, keinginan itu hanya dipendam di dasar harapan. Sampai suatu dini hari HP Cinta berbunyi thing. Ada pesan WhatsApp masuk. Jam satu dini hari. Dengan ogah-ogahan diambil HP di samping tempat tidur. Ternyata dari Toni. Mendadak muncul semangat. Membara, bahkan nyaris membakar dada seperti api neraka membakar para pendosa. Bedanya, bara ini tidak menyakitkan, melainkan justru menyejukkan seperti bara yang membakar Nabi Ibrahim alaihissalam. Isinya singkat: Aku besok ke vila. Pagi, jam enam. Tanpa sadar Cinta menengok jam dinding di sebelah tempat tidur. Jam satu. Berarti kurang lima jam lagi. Duh, betapa lamanya. Setelah itu Cinta tidak bisa tidur. Membayangkan esok hari yang bakal berjalan tidak seperti hari-hari sebelumnya. Sesaat kebahagiaan itu sempat surut. Sebab, jangan-jangan Toni tidak sendirian. Didampingi Mak Lampir Nia. Huh! Sebel! Tapi, tidak mungkin Toni memberitahukan bakal kehadirannya ke sini pada dini hari bila bersama Nia. Pasti kehadirannya disembunyikan dari Mak Lampir, eh Nia, eh Mbak Nia Lampir. Wkwkwk. Hoi… asyik…! Muncul semangat lagi pada dini hari itu. Mendadak kantuk Cinta hilang. Berganti rasa bahagia tak terhingga. Dia segera ke kamar mandi. Menyalakan air hangat ke bathub. Memasukkan parfum kesayangan—yang kapan hari diberi Nia. Katanya itu parfum kesayangannya dan Toni. Chanel-Coco Mademoiselle. “Agar bau kita sama. Seragam serumah,” kata Nia waktu itu. Walau begitu Cinta tidak pernah memakainya. Eman-eman. Untuk apa parfum Rp 2 juta lebih per botol itu dibiarkan menguap sia-sia. Mubazir. Tapi, hari ini adalah hari istmewa. Superistimewa. Tidak sia-sia kalau dia memakainya dan memersembahkan wangi itu untuk lelaki yang sangat disayangi, Toni. Au… Betapa indah hidup ini. Betapa wangi hidup ini. Betapa bergairah. Au… Lima jam itu berjalan amat pelan. Terasa bagai limaratus tahun. Jam enam kurang sembilan menit Toni muncul. Penampilannya sangat elegan. Dandy. Rapi. Andai saat itu ada lalat menempel di lengannya, lalat itu pasti terpeleset jatuh. Toni berjalan dari pintu rumah yang tidak kukunci sejak azan Subuh. Satu per satu langkahnya berdetak di lantai bagai detak jantungku. Dag-dig-dug. Dari tubuh gagahnya menyuar bau wangi khas Chanel-Coco Mademoiselle. (jos, bersambung)
Sumber: