Aktivis Perempuan: Setiap Pelaku Pelecehan Seksual Pantas untuk Mati

Aktivis Perempuan: Setiap Pelaku Pelecehan Seksual Pantas untuk Mati

Surabaya, memorandum.co.id - Setiap pelaku pelecehan seksual dinilai pantas untuk mati. Apalagi, bila itu disertai dengan kekerasan. Sungguh menjadi perbuatan yang sangat biadab dan keji. Sebab, korban pelecehan seksual akan menanggung penderitaan yang luar biasa. Tak hanya berdampak pada fisiknya, namun juga psikis. Hal ini disampaikan oleh aktivis perempuan, Elni Nainggolan. “Setiap pelaku pelecehan seksual rasanya pantas untuk mati. Berat sekali membayangkan bila ada sesesorang, entah yang dikenal atau tidak, memanipulasi kita dan memaksa kita untuk melakukan hal yang tidak kita inginkan. Terlebih hal tersebut dapat merenggut harkat dan martabat diri kita,” kata Elni, yang juga Ketua Lingkar Studi Gender Mahasiswa (LSGM) Universitas Airlangga ini, Jumat (22/7/2022). Elni memaparkan, pelecehan seksual bisa memberikan dampat yang mendalam bagi para korban. Dampak secara fisik, akan meninggalkan bekas yang tidak indah. Lalu dampak psikis, membuat mental korban hancur lebur. Bahkan korban tidak dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala. “Belum lagi dampak secara ekonomi. Para korban perlu untuk memulihkan diri dengan biaya yang tidak murah dan dengan intensitas yang tidak sedikit,” tandasnya. Karena itu, Elni menilai harus ada hukuman yang berat dan maksimal. Hukuman penjara seumur hidup pun dirasa sangat pas untuk disematkan kepada predator seksual. Paling tidak, dengan di penjara selamanya, maka dapat menyelamatkan korban agar tak kembali bertemu dengan pelaku. Namun menurut telaahnya, hukuman yang pantas adalah hukuman yang berperspektif korban. “Efek jera jangka panjang adalah kunci agar tidak ada lagi pelaku dan korban lainnya,” tegas Elni. Mantan wakil presiden BEM Fisip Unair ini mengungkapkan, beberapa waktu lalu terdapat campaign dari gerakan perempuan yang menyuarakan agar perusahaan/instansi tidak merekrut atau menerima pelaku pelecehan seksual sebagai pekerja. Hal semacam ini, kata Elni, konkret dan sepadan. Selayaknya korban yang dirugikan secara mendalam, maka pelaku pelecehan seksual, minimal harus merasakan bagaimana sulitnya hidup bila harkat dan martabatnya tercoreng serta dicap sebagai pelaku pelecehan seksual seumur hidupnya. “Hukuman penjara adalah hal paling minimal. Selebihnya, diharapkan ada nominal ganti rugi yang sepadan dari apa yang telah dilalui korban. Dan pastinya, ada pencabutan jabatan atau profesi agar pelaku tidak melakukan hal yang sama, serta sulit untuk mengakses profesi lainnya,” kata dia. Disinggung mengenai kasus yang sedang heboh yakni, aksi pencabulan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi (42), anak kiai ternama di Pondok Pesantren (ponpes) Majma’al Bahrain Shiddiqiyyah, yang mencabuli lima orang korban. Elni menegaskan bahwa perilaku biadab MSAT membuat banyak orang murka. “Dari keterangan korban, bisa kita lihat bahwa pelaku ini memanipulasi mereka dengan memanfaatkan relasi kuasa yang dia miliki hanya untuk kepentingan birahinya. Dan jika para santri menolak, tindakan kekerasan fisik lainnya juga terjadi,” urainya. “Bisa dibayangkan, betapa menderitanya korban saat melalui itu semua. Belum lagi harus kembali melihat wajah pelaku berulang kali dan harus tetap menahan rasa marah, malu, dan perasaan tidak mengenakkan lainnya. Sungguh hal tersebut adalah penderitaan luar biasa, namun ganjaran yang pantas untuk korban sangat sulit didapatkan,” imbuh Elni. Pada akhirnya, pelaku MSAT terancam hukuman penjara 12 tahun. Putrai kiai KH Muhammad Mukhtar Mukthi itu dijerat pasal berlapis. Yakni, pasal 285 kuhp jo pasal 65 kuhp ancaman pidana 12 tahun, pasal 289 kuhp jo pasal 65 ancaman pidana 9 tahun, dan pasal 294 ayat 2 p2kp jo pasal 65 kuhp dengan ancaman pidana 7 tahun. Elni menuturkan, walaupun seolah hukuman yang diterima oleh pelaku berat karena pasal berlapis, tetapi sejatinya hukuman penjara hanya bentuk arogansi sejenak. Bukan menjadi solusi, tidak pula memberi efek jera, dan tidak berperspektif korban. “Kasus ini akhirnya menerima dakwaan mengacu pada KUHP, karena juga kejadian ini terjadi jauh sebelum UU TPKS ada. Hal ini yang semakin disayangkan. Pada akhirnya hukuman yang diterima hanya sebatas penjara,” cetusnya. Di samping itu, Elni juga sepakat terhadap salah satu penambahan poin dalam RUU tentang Perlindungan Anak untuk memiskinkan pelaku pelecehan seksual. Yakni, dengan cara memberikan santunan kepada korban agar mampu secara emosional dan ekonomi sampai menginjak usia dewasa. “Saya sangat sepakat. Karena aksi pelecehan seksual membuat korban tidak dapat melanjutkan hidup seperti sedia kala. Korban harus memulihkan diri dan menanggung luka fisik dan psikis yang sangat lama. Jadi memang sudah seyogyanya ada nominal ganti rugi yang sepadan dari apa yang telah dilalui korban,” tuntas moderator MC Brengos Surabaya ini. (bin)

Sumber: