Jatuh Cinta kapada Purel di Sebuah Rumah Hiburan (4)

Jatuh Cinta kapada Purel di Sebuah Rumah Hiburan (4)

Mata Rini berkaca-kaca. Diusapnya. Dia lantas minta izin ke kamar kecil. Cukup lama dia di sana. Lebih dari 30 menit. Khawatir terjadi sesuatu terhadap dia, Hery berniat mengetuk pintunya. Pada saat hampir bersamaan, pintu terbuka. Rini hendak keluar sambil merapikan pakaian. “Maaf kalau terlalu lama,” ucapnya. Mereka segera kembali ke tempat duduk masing-masing. “Maaf bila pertanyaanku dianggap kurang sopan: Mbak Rini sudah menikah?” tanya Hery setelah keduanya duduk santai. Rini tidak segera menjawab. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Tampak sekali dia berusaha menahan sesuatu yang mendesak-desak di dalam hatinya. Sebab, bila tidak, tentu dia akan mengeluarkan napasnya dengan satu hentakan. Seperti pada umumnya orang yang memendam masalah. “Mbak Rini tidak perlu menjawab kalau memang tidak menghendaki,” kata Hery. “Sejarah berulang,” kata Rini pelan, namun terasa berat. Hery melihat Rini seperti menyimpan beban yang sangat berat. Dia sangat ingin menguranginya, bahkan membebaskan perempuan tersebut dari impitan beban tadi. Tapi, bagaimana caranya? Rini mengaku sempat bekerja seperti almarhumah ibunya di sebuah pabrik rokok di Kediri. Ternyata bukan hanya pekerjaan yang diwariskan sang ibu, melainkan juga nasib buruknya. Pada suatu hari Rini menghadiri undangan pengantin di Jombang. Dia bersama pacarnya. Sepulang dari acara resepsi sekitar pukul 22.00, mereka dibegal di tengah perjalanan. Pacarnya dihajar hingga gegar otak—dan meninggal tiga bulan kemudian, motornya dibawa kabur, dan Rini digilir dua perampas motornya. Sama dengan almarhum ibunya, Rini pun hamil dari benih bajingan. Ada satu yang patut dipuji pada ibu dan anak ini, “Aku ingin mewarisi sikap almarhumah yang baik. Tidak menggugurkan kandungan. Nenek mendukung,” cerita Rini. Kini anaknya sudah berumur 1,5 tahun dan dititipkan di PAUD. “Namanya—sebut saja—Intan. Dia diasuh buyutnya di Kediri. Aku bekerja di sini atas ajakan seorang tetangga.” “Sudah lama?” “Belum. Masih tiga bulan. Kenapa? Pak Herry punya alternatif pekerjaan lain untukku?” “Kok balik pertanya?” “Aku sebenarnya tidak nyaman di sini. Kalau tidak terpaksa, tidak mungkin aku di sini.” Peremuan berambut sebahu dan berdagu nyathis ini lantas bercerita bahwa di desa dia terjerat utang yang tidak kecil. Waktu itu anaknya jatuh saat bermain di balai RW. (jos, bersambung)      

Sumber: