Oknum Notaris dan Istri Sekongkol Palsukan Surat

Oknum Notaris dan Istri Sekongkol Palsukan Surat

Surabaya, memorandum.co.id-  Oknum notaris Edhi Susanto dan Feni Talim (berkas terpisah) didakwa melakukan tindak pidana pemalsuan surat. Pasangan suami-istri tersebut diduga membuat surat penyataan palsu dan surat kuasa palsu atas sertifikat hak milik (SHM) Hardi Kartoyo. Keduanya kini didudukkan di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Surabaya untuk diadili. Terjadinya kasus pemalsuan surat tersebut bermula pada pertengahan 2017, saat itu Hadi Kartoyo (korban) bertujuan menjual tiga bidang tanah dan bangunan miliknya kepada Triono Satria Dharmawan. Ketiga aset tersebut tercatat dengan atas nama istri korban, Itawati Sidharta. Hardi menjalin kesepakatan dengan Triono bahwa harga ketiga aset yang terletak di Jalan Rangkah, Tambaksari tersebut senilai Rp 16 miliar. Untuk pembelian aset itu, rencananya akan dibiayai oleh pihak Bank Jtrust Kertajaya. Kemudian Edhi Susanto, notaris yang berkantor di Jalan Anjasmoro Surabaya itu ditunjuk oleh pihak bank untuk memfasilitasi proses jual beli antara Triono Satrio Dharmawan dengan Hardi Kartoyo dan istrinya tersebut. Lebih lanjut, Hardi menyerahkan SHM tiga aset itu kepada Edhi Santoso untuk cheking sertifikat di BPN Surabaya II. Sedangkan Triono memberikan cek sebesar Rp 500 juta kepada Edhi untuk diserahkan kepada Hardi sebagai uang tanda jadi atau DP atas pembelian tanah dan rumah milik korban. Cek tersebut lalu diserahkan kepada Hardi dengan catatan apabila hasil checking cek terhadap tiga SHM tersebut bermasalah dan pihak penjual membatalkan transaksi, maka uang tersebut harus dikembalikan kepada pembeli tanpa potongan. Namun saat pengurusan maupun checking tidak segera diselesaikan, Edhi Susanto, malah membuat dan memberikan surat pernyataan. Isinya apabila dalam waktu dua bulan ternyata belum terjadi transaksi jual beli antara Hardi dan Triono, maka uang DP dianggap hangus dan sertifikat asli dikembalikan. "Setelah ditunggu-tunggu juga tidak ada kelanjutannya proses jual beli tersebut selanjutnya Hardi sering datang ke kantor notaris Edhi Susanto dengan maksud meminta sertifikat tersebut. Tetapi, Edhi Susanto, tidak bersedia menyerahkan sertifikat tersebut tanpa alasan yang jelas," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmad Hari Basuki saat membacakan surat dakwaannya di PN Surabaya, Kamis (9/6). Sementara itu, yang dilakukan Feni Talim yaitu mengurus checking sertifikat di Kantor BPN Surabaya ll. Caranya, terdakwa mengambil dokumen sertifikat yang dibutuhkan dari dalam lemari di kantor suaminya itu. Namun, dari ketiga sertifikat tersebut, hanya satu yang lolos karena tidak ada perubahan. "Sedangkan dua SHM lainnya masih ada kendala yaitu karena harus ada perubahan logo blangko dari Bola Dunia menjadi logo Garuda sert ada perubahan luas akibat potong jalan (rilen)" ucap JPU dari Kejati Jatim tersebut. JPU Hari Basuki menambahkan bahwa setelah tidak disetujui, Feni datang lagi ke kantor BPN Surabaya II untuk melakukan pengurusan pengecekan sertifikat dengan membawa dokumen yang dibutuhkan antara lain surat kuasa dari Itawati Sidharta kepada dirinya. "Padahal, Itawati Sidharta selaku pemegang hak atas tanah tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa tertanggal 31 Januari 2018 dan tertanggal 9 Februari 2018 tersebut. Dalam surat kuasa tersebut terdapat tanda tangan terdakwa Feni sebagai penerima kuasa, diketahui oleh notaris Edhi Santoso," imbuhnya. Kemudian, jelas JPU, terdakwa Feni juga membuat surat pernyataan selisih luasan tanah dan surat pernyataan menerima hasil ukur. Atas kelengkapan yang dibutuhkan oleh pihak BPN Surabaya II itu kemudian disetujui. Akibat perbuatan kedua terdakwa, Itawati Sidharta mengalami kerugian menyusutnya luas lahan miliknya dan juga perubahan atas sertifikat tersebut. "Perbuatan terdakwa Feni Talim sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP. Sedangkan terdakwa Edhi Santoso sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP," ujarnya. Terhadap dakwaan JPU, kedua terdakwa yang didampingi pengacaranya berencana mengajukan keberatan (ekspresi) pada persidangan selanjutnya. "Kami mengajukan eksepsi Yang Mulia," ucap salah satu tim pengacara kepada majelis hakim yang diketuai Suparno. (jak)

Sumber: