Pernikahan Pemuda Dingin vs Pembantu (2)
Ketika Keputusasaan Mencapai Ambang Batas
Sahid dan istrinya yang ingin bisa menimang cucu hampir putus asa menghadapi Rio. Mereka lantas mencoba mencarikan jodoh untuk anaknya tersebut. Beberapa teman Sahid dan istrinya yang memunyai anak gadis diundang ke rumah. Rio pun diperkenalkan dengan gadis-gadis tersebut. Ada yang sarjana S2, ada pula yang hanya lulusan SMA. Ada wanita karier, namun ada pula yang hanya gadis rumahan yang tidak pernah ke mana-mana selain ke pasar dan bersama keluarga bersilatrahmi ke sanak famili. “Ada juga santriwati putri kenalan Bu Sahid yang masih mondok di Jombang. Kalau melihat fotonya, wajah dan perawakannya tidak kalah dari artis-artis yang main di sinetron-sinetron,” kata Win. Ternyata dari semuanya tidak ada yang dicocoki oleh Rio. “Pak dan Bu Sahid akhirnya benar-benar putus asa,” tambahnya. Hingga suatu saat iseng-iseng Bu Sahid menawari Siti, keponakan jauh Sahid yang juga pembantu di rumah mereka: apakah mau dijodohkan dengan Rio? Ternyata Siti menolak. Alasannya, dia tidak begitu dekat dengan pemuda tersebut. Siti bahkan berkata bahwa Rio menakutkan. Wajahnya selalu suntuk bila bertatap muka dengan Siti. Rio juga tidak memerbolahkan gadis tersebut membersiahkan kamarnya. “Mas Rio seperti orang asing bagi saya, Pakde. Orangnya dingin,” kata Win menirukan ucapan Siti seperti dikatakan Sahid. Setelah upayanya gagal, kini giliran Sahid yang maju. Dengan sedikit memaksa, lelaki yang rambutnya sudah beruban itu akhirnya berhasil meluluhkan hari Siti. “Tapi Pak Sahid sebenarnya tidak begitu yakin bahwa Siti menerima tawaran itu dengan ikhlas,” kata Win. Setelah mendapat kepastian dari Siti, Sahid dan istrinya lantas memanggil Rio. “Bapak dan Ibu sudah putus asa. Ini terakhir Bapak dan Ibu meminta kamu segera menikah. Bukan orang jauh. Masih kerabat sendiri,” kata Siti pelan. Tidak ada jawaban. Sahid yang berdiri di samping itrinya gelisah. Diremasnya pundak sang istri dengan lembut. “Jangan hanya diam. Jawab permintaan Ibu,” tutur Sahid agak gemetar. Dipandangnya tajam wajah Rio. Masih juga belum ada jawaban. Suasana sepi dan hening itu merambat pelan hingga lebih dari 10 menit. Sahid dan istrinya saling pandang dengan pancaran sedih dan putus asa. “Kalau memang tidak mau, ya sudah. Bapa dan Ibu tidak aka memaksamu lagi,” kata Sahid sambil mengajak istrinya masuk kamar. Mereka tinggalkan Rio duduk termenung sendirian di ruang keluarga. Kicauan burung piaraan Sahid yang tergantung rapi di teras belakang rumah memecah hening. “Kalau Bapak dan Ibu memaksa, baiklah. Rio bersedia dinikahkan dengan Siti,” tiba-tiba kalimat itu meluncur dari bibir pemuda yang bekerja di sebuah kantor bank BUMN tersebut. Sahid dan istrinya yang sudah terburu masuk kamar segera membuka pintu kamar dan berlari mendekat. Bu Sahid memeluk anaknya, disusul belaian lembut Sahid di kepala Rio. Ketika keputusasaan Sahid dan sang istri mencapai ambang batas, terjadilah keajaiban itu. (jos, bersambung)Sumber: