Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Bergabung (6)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Bergabung (6)

Seketika itu lawan Toh Kuning melompat jungkir balik sambil menusukkan kerisnya kea rah dada Toh Kuning. Tetapi Toh Kuning telah berkembang dengan banyak pengalaman, maka ia memukul urat nadi penyerangnya. Benturan terjadi dan keduanya bergeser saling menjauh. “Toh Kuning,“ kata penyerang asing itu sambil mengangkat wajahnya. Toh Kuning memandangnya dengan kening berkerut. Lalu ia tersenyum dan katanya,”Ken Arok! Kau semakin lincah dan makin hebat.” “Kau tidak pernah meninggalkan guru terlalu lama,” kata Ken Arok. Kemudian mereka duduk berdekatan dibalik sebongkah batu cadas berwarna hitam. “Bagaimana keadaan guru?” bertanya Ken Arok. Toh Kuning menundukkan wajah. Dalam gelap, Ken Arok dapat melihat mendung bergelayut di wajah Toh Kuning. Setelah beberapa kali menarik napas panjang menghilangkan sesak dalam dadanya, Ken Arok menggerakkan bibirnya, ”Aku telah mendengar kabar tentang guru. Aku merasa bersalah karena tidak melihatnya untuk saat terakhir. Aku tidak dapat datang mengikuti upacara itu dan perbuatanku itu akan menjadi penyesalan sepanjang usiaku.” “Tidak,” sahut Toh Kuning lirih, ”kau tidak bersalah karena memang itulah kehendak guru. Aku juga tidak menduga jika guru tiba-tiba meninggalkan kita semua dalam keadaan semuanya belum mapan dan siap.” “Kau tidak dapat berkata seperti itu,” Ken Arok memotong kalimat Toh Kuning. ”Aku merasakan marah ketika guru meninggalkanku dalam keadaan terluka, meski kemudian Ki Branjangan Putih datang menolong dan merawatku hingga sembuh. Namun sejak itu aku memendam amarah pada guru. Aku juga marah padamu karena tidak pernah berusaha mencariku. Kemarahanku pada kalian berdua telah membuatku tidak dapat melihat dalam terang. Beberapa kali aku mencoba meninggalkan padepokan Waringin Kelabang untuk membunuh kalian berdua, tetapi Ki Branjangan selalu berhasil mencegahku. Kesalahanku adalah gagal menghabisi kalian berdua! Kau harus tahu itu!” Toh Kuning menarik napas dalam-dalam saat ia merasakan dadanya sedikit sesak mendengar Ken Arok mendengus marah. “Dan ketika aku mendengar berita tentang guru, maka aku dapat melihat segala sesuatu menjadi terang seperti purnama. Ia sengaja meninggalkanku di Alas Kawitan agar aku dapat belajar mencari cara lain dalam mencintai kehidupan. Ketika itu aku dapat menghargai kematian, hingga akhirnya, aku berada di samping Ki Branjangan sepanjang hari. Meski demikian, aku masih dihinggapi rasa bersalah. Antara marah karena gagal membalas perbuatan itu atau bahagia karena masih melanjutkan kehidupan. Namun, apapun itu, kecewa dan bersalah belum beranjak dari hatiku hingga kini.” “Ken Arok. Bukan aku tidak berusaha mencarimu tetapi aku tidak mendapatimu di alas Kawitan ketika aku telah sembuh. Aku bertanya pada banyak orang dan kau seperti lenyap ditelan bumi. Ketika aku akan meninggalkan guru untukmenyusuri jejakmu, guru berkata padaku bahwa  kematianmu akan bernilai apabila aku berhenti mencarimu. Semenjak itu, aku lebih banyak berada dalam padepokan.” Mata Toh Kuning menatap kegelapan yang tidak bertepi. “Aku akan meraih sebuah bintang dan mengukir namamu di sana.” “Kau tidak akan dapat melakukannya,” Ken Arok tertawa lirih. “Aku akan melakukannya karena aku murid Begawan Bidaran,” Tiba-tiba Ken Arok memandang wajah Toh Kuning dengan raut muka sungguh-sungguh. Ia membuka bibirnya, ”Apakah benar yang aku dengar?” Kening Toh Kuning berkerut dan ia seperti menjadi lebih tua dari usianya. “Ya.” Ken Arok mengangguk. ”Aku mendengar kau akan menjadi prajurit Kediri. Lalu apakah kau biarkan Mahesa Wunelang tetap hidup dalam damai?” “Berita bahwa aku akan menjadi prajurit Kediri memang benar.” “Lalu kau akan melupakan Mahesa Wunelang yang telah membuatmu malu di hadapan banyak orang? Kau akan bekerja sebagai anak buah orang yang nyaris membunuhmu di hadapan guru?” “Benar,” tegas Toh Kuning, ”dan aku kira kau tidak keberatan. Sementara kau sendiri terlibat dalam sekumpulan orang yang akan meruntuhkan Kediri.” “Gila!” seru Ken Arok tak percaya. ”Kau benar-benar gila.” (bersambung)      

Sumber: