Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (17)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (17)

“Meski aku berkesempatan meninggalkan gelanggang, tetapi itu bukan Toh Kuning,” gumamnya sambil berusaha menghimpun kekuatannya yang tercerai-berai. Napasnya tersengal. Sepanjang dua lengannya bergetar. Ia belum menyerah. Tidak ada keinginan itu dalam hatinya! Toh Kuning adalah pemuda yang cerdik dan berakal panjang. Melarikan diri adalah usaha untuk meraih kemenangan di waktu yang lain, itu pemikiran Toh Kuning sebelum mengawali pertemuan dengan iring-iringan Mahendara.. Tetapi pada waktu itu, pada saat berhadapan dengan Mahesa Wunelang, Toh Kuning seolah meninggalkan landasan berpikirnya. Hidup adalah kemenangan. Untuk sekejap, Mahesa Wunelang melirik Mahendra yang kemudian menganggukkan kepala lalu meloncat surut. Sejenak Mahesa Wunelang memandang ke atas dan dilihatnya matahari telah condong ke barat. Puncak Arjuna yang menjulang tinggi ke angkasa telah berselimut gelap pada sebagian lerengnya. Ia menatap tajam Toh Kuning yang masih berbaring namun telapak tangannya mengembang dan bergetar menghimpun tenaga inti. Tahulah ia bahwa Toh Kuning mencoba menjebaknya dengan sikap tidak berdaya. Toh Kuning sebenarnya merasa tubuhnya tidak lagi mempunyai daya untuk melepaskan tenaga inti dalam himpunan penuh. Karena itu ia tetap berbaring untuk menutupi kelemahan sambil menunggu lawannya mendekat. Mahesa Wunelang mengambil keputusan dengan cepat. Ia akan menyerang dalam satu gebrakan mematikan. Mengakhiri perjalanan Toh Kuning menjadi pilihan utamanya. Bagi Mahesa Wunelang, bila Ken Arok dan Toh Kuning dapat bergabung lagi maka itu pertanda buruk. Maka salah satui dari mereka harus mati! Ia menekuk kedua lututnya dan kakinya merenggang. Dengan telapak kiri terbuka lebar, ia mendorong puncak tenaga inti melalui kedua tangannya ke depan. Toh Kuning yang cermat mengamati perkembangan kemudian menyambutnya dengan ayunan telapak tangan kanan yang terbuka. Dua pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga inti berkekuatan dahsyat menyambar keluar dari dua orang yang berkepandaian tinggi ini. Mahesa Wunelang sangat terkejut dengan dorongan tenaga inti yang keluar dari telapak tangan Toh Kuning. Sementara Toh Kuning telah bersiap menyambut kematian dengan mata terbuka. Namun tiba-tiba satu sambaran angin yang lebih dahsyat mendorong balik tenaga inti yang dilepaskan oleh Mahesa Wunelang dan Toh Kuning. Tubuh Toh Kuning terseret gelombang yang datang tiba-tiba ditambah dengan tenaga intinya sendiri yang terpental balik menghantam tubuhnya.  Mahesa Wunelang makin terkesiap ketika pukulannya seperti menghantam dinding baja, lalu berbalik arah dengan kekuatan berlipat ganda. Sekalipun ia telah memperkuat kedudukannya dengan merendahkan tubuh sedikit mendekati tanah, tubuh Mahesa Wunelang masih terseret surut tetapi ia dapat berjungkir balik lalu mendarat dengan sedikit terhuyung. “Begawan!” seru Mahesa Wunelang terkejut. Orang-orang sekitarnya meloncat maju lalu memberi hormat pada orang yang baru datang itu. “Guru!” desis pelan Toh Kuning saat melihat seorang lelaki yang berusia hampir seabad berdiri tegak di tengah-tengah antara dirinya dengan Mahesa Wunelang. Dorongan tenaga Begawan Bidaran memaksa Toh Kuning untuk tetap berbaring, pada waktu itu ia merasakan satu himpitan seperti sebukit tanah berada di atas dadanya. Sesak dan matanya berkunang-kunang.  Ia tidak berpikir akan mendapatkan bantuan dari gurunya. Ia juga tidak merasa akan mendapatkan hukuman. Saat itu, Toh Kuning adalah seseorang yang tidak dapat berpikir atau mempunyai perasaan. Sepenuhnya ia menjadi mayat hidup. “Tidak aku izinkan orang lain untuk membunuh muridku,” berkata Begawan Purna Bidaran pelan namun sangat jelas terdengar oleh orang-orang. Ia memutar badan dan menatap wajah Mahesa Wunelang. ”Kau orang hebat dan berilmu tinggi. Kau adalah orang yang bertanggung jawab atas keamanan di seluruh wilayah Kediri. Tetapi aku melarangmu untuk membawa kedua muridku ke kotaraja. Mereka berdua tidak boleh dihukum oleh siapapun termasuk Sri Baginda Kertajaya.” Mahesa Wunelang menganggukkan kepala. Ia tahu siapa sebenarnya Begawan Purna Bidaran. Ia tidak membantah perkataan Begawan Bidaran. (bersambung)    

Sumber: