Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (7)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (7)

Toh Kuning mengayunkan tubuhnya ke samping, menghindar dari tusukan pedang yang tiba-tiba berubah arah dengan menebas menyilang. Toh Kuning memiringkan tubuhnya sekaligus melepaskan serangan balasan dengan keris yang menyusup lambung lurah prajurit yang terbuka. Namun lurah prajurit kemudian menjatuhkan diri dengan bergulingan lalu bangkit dan memutar pedangnya menyambar dada Toh Kuning. Para pengikut Ki Ranu Welang bergerak mendekati lingkaran perkelahian Toh Kuning. Mereka berdiri mengelilingi mereka dan sesekali bersorak-sorak ketika lurah prajurit meloncat surut atau jatuh bergulingan. Lurah prajurit memahami bahwa ia tidak akan dapat keluar hidup-hidup dalam pertarungannya melawan Toh Kuning. Tetapi semangatnya sebagai prajurit Kediri membuatnya meloncat jauh ke belakang dan menyusun ulang tata geraknya. Ia telah membuat keputusan terakhir. Pedangnya yang telah dilambari tenaga inti dan tangan kirinya tampak mengeras. Tiba-tiba ia melesat jauh menerjang Toh Kuning dengan sangat cepat. Sangat sulit bagi mata biasa untuk melihat kecepatan gerak lurah prajurit yang telah siap mengadu tenaga inti dengan Toh Kuning. Namun Toh Kuning mempunyai pemikiran lain. Seringkali orang tidak dapat menebak jalan pikirannya, termasuk para pengikut Ki Ranu Welang. “Aku tidak akan membunuhmu, Ki Lurah,” kata Toh Kuning dalam hatinya. Ia memutuskan untuk bertindak sangat keras sehingga seolah-olah lurah prajurit itu mati terbunuh di tangannya. Otak Toh Kuning berputar cepat mengingat jalur urat saraf dan jalan darah yang dapat menyebabkan seseorang menjadi mati suri namun bukan pingsan. Ia tidak ingin pengikut Ki Ranu Welang mengetahui apabila ia membiarkan lurah prajurit itu tetap hidup. Ia mempunyai alasan kuat untuk melakukan itu, sedangkan ia juga harus dapat menjaga kepentingan terhadap Ki Ranu Welang. Dasar-dasar ilmu pengobatan yang diajarkan oleh gurunya melintas dalam ingatan Toh Kuning. Kini ia dengan cepat mulai membalas serangan lurah prajurit. Bahkan Toh Kuning sesekali membenturkan tenaga ketika dua kepalan bertemu, kadang mereka berdua juga mengadu kedua siku dan lengan. Tanpa disadari oleh lurah prajurit, Toh Kuning meningkatkan tenaganya selapis lebih tinggi. Namun begitu lurah prajurit sebenarnya mengerti apabila anak muda yang bertarung dengannya itu memang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi. Betapa ia setiap kali mencoba melakukan perubahan, maka Toh Kuning selalu dapat menghadangnya atau mampu membaca gerakannya sehingga lurah prajurit sering menemukan jalan buntu. Lurah prajurit itu tetap mempunyai keyakinan jika ia dapat mengalahkan Toh Kuning. Dan pada saat ia telah merasa pada puncak tenaga inti yang dimilikinya dan mulai mengadu bagian tubuhnya, lurah prajurit terkejut karena Toh Kuning masih dapat mengimbanginya. Bahkan sekarang lurah prajurit mengalami kesemutan dan tangannya bergetar hebat kala beradu senjata dengan Toh Kuning. Toh Kuning kemudian meningkatkan kecepatan serangannya dan ujung kerisnya seolah mejadi puluhan jumlahnya. Tiba-tiba tanpa disadari oleh lurah prajurit, satu goresan pendek telah mengoyak kulitnya. Lurah prajurit berteriak marah dan serangannya semakin lama semakin tidak menentu arahnya. Menyadari usahanya untuk memancing amarah lurah prajurit telah membuahkan hasil, Toh Kuning meloncat surut jauh beberapa langkah. Ia mempersiapkan diri untuk melakukan rancangan serang selanjutnya. Tubuh Toh Kuning berloncatan ke segala arah dengan kecepatan luar biasa. Orang bertubuh kurus yang memimpin pengikut Ki Ranu Welang sulit mengikuti bayangan gerak Toh Kuning. Sementara lurah prajurit kemudian sadar jika lawannya telah berhasil menggedor pertahanannya yang terakhir. Namun ia terlambat untuk memperbaiki kedudukan, Toh Kuning yang berloncatan kesana kemari berhasil menggapai tubuh lurah prajurit dengan dua-tiga pukulan, kemudian dalam satu gebrakan dahsyat, Toh Kuning berhasil memukul jatuh pedang lurah prajurit dan bersamaan dengan itu Toh Kuning menjatuhkan kerisnya. Ia memberi kesan pada pengikut Ki Ranu Welang bahwa senjata mereka berdua telah lepas dari genggaman karena benturan. Lalu tiba-tiba tangan kiri Toh Kuning yang terkepal telah menghantam bagian dada lurah prajurit sementara jari tangan kanan mencekik leher lurah prajurit dengan kuat. “Kau!” desah lurah prajurit dengan mata membeliak. “Ilmu yang tidak sebanding denganku. Jangan pernah berharap dapat mengalahkanku, Ki Lurah,” bisik pelan Toh Kuning yang kemudian mendorong jatuh tubuh lurah prajurit. Dengan pandangan mata yang tajam, Toh Kuning memperhatikan tubuh lurah prajurit yang tergolek lemas di bawah kakinya. “Aku berhasil,” ia berkata pelan. Kemudian ia menoleh sekeliling dan berkata pada pengikut Ki Ranu Welang, ”Tidak ada prajurit Kediri yang tersisa untuk hidup. Marilah! Aku minta kalian untuk membersihkan tempat ini dari mayat-mayat prajurit yang malang ini. Aku akan mengubur jasad orang ini agak jauh dari sini.” “Mengapa kau lakukan itu, Toh Kuning?” orang bertubuh kurus itu bertanya dengan dahi berkerut dalam. “Supaya kawan-kawan mereka yang menjumpai mayat-mayat ini mempunyai pikiran jika lurah prajurit telah melarikan diri,” Toh Kuning memberi jawaban sambil memanggul tubuh lemas lurah prajurit lalu berjalan meninggalkan mereka. (bersambung)    

Sumber: