Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (3)

Toh Kuning Benteng Terakhir Kertajaya – Sampai Jumpa, Ken Arok! (3)

Toh Kuning berjalan dengan hati-hati mendekati sekelompok orang yang telah saling berhadapan di dekat sebuah api unggun. “Celaka!” desis Toh Kuning lalu merendahkan tubuhnya dan bersembunyi di balik rimbun semak. “Siapakah Ki Sanak sekalian?” bertanya seorang prajurit yang berpangkat lebih tinggi dari yang lain. “Kami serombongan orang yang akan pergi ke Jenggala,” jawab seorang bertubuh kurus dan berbibir tebal. “Aku pernah melihat orang itu di rumah Ki Ranu Welang,” Toh Kuning berkata dalam hatinya ketika keluar dari persembunyian lalu berusaha mendekati kerumunan orang di dekat  telaga. Sekejap ia merenung lalu memutuskan untuk menampilkan diri. Sedikit rasa percaya diri dan keyakinan pada ilmu yang dikuasainya telah mendorong Toh Kuning berbuat berani. “Ki Sanak datang dari mana?” prajurit itu bertanya lagi. “Kami berasal dari Tumapel.” “Kalian bukan orang Tumapel,” potong prajurit itu. Derai tawa terdengar dari kelompok Ki Ranu Welang. Orang kurus itu kemudian membuka bibirnya, “Apakah kepentingan kalian, Ki Sanak?” “Kami adalah prajurit Kediri. Seharusnya kalian tahu jika Alas Kawitan adalah tempat terlarang untuk bermalam,” jawab prajurit itu. Kembali pengikut Ki Ranu Welang tertawa mendengar jawaban dari prajurit Kediri. Para prajurit itu segera bersiap dan senjata mereka telah merunduk. Suasana tegang sangat terasa di dalam dua kerumunan itu. Kemudian, lurah prajurit itu memberi perintah pada pengikut Ki Ranu Welang sambil menunjuk ke suatu tempat, ”Atas nama Raja Kediri, aku perintahkan kalian untuk meletakkan senjata dan mengumpulkannya di sebelah utara. Aku ingin kalian melakukannya tanpa bantahan.  Aku adalah wakil raja bagi kalian.” Para pengikut Ki Ranu Welang menjadi geram dan jengkel dengan perintah lurah prajurit Kediri. Ia berpikir sebagai wakil raja? Mungkin kepala lurah itu harus segera dipisahkan agar ia cepat menjadi sadar diri. Pikir orang yang bertubuh kurus itu. Ia berjalan mendekat dan mengacungkan telunjuknya tepat di depan wajah lurah prajurit. Bentaknya, ”Kami tidak takut pada prajurit Kediri dan kalian tidak bekerja untuk memberi kami rasa takut. Bahkan seorang raja pun tidak mempunyai arti yang begitu penting bagi kami. Kertajaya tidak pernah peduli pada kami. Kertajaya tidak mengerti rasa sakit yang kami alami. Lalu, bagaimana kami akan menyatakan tunduk padanya? Apa kepentingan Kertajaya yang sebenarnya?” “Aku ulangi kata-kataku sekali lagi, Ki Sanak! Alas Kawitan adalah tempat terlarang untuk bermalam. Ki Sanak sekalian tidak boleh bermalam di tempat ini,” lurah prajurit menegaskan. Dengan pandang mata yang awas, ia memberi perintah pada teman-temannya untuk bersiap. Gelegak jiwanya makin kuat. Dorongan hati untuk segera memberi pelajaran pada kawanan Ranu Welang merambat lebih jauh untuk menguasai hatinya. Setengah berteriak ia berkata, “Kalian harus patuhi aturan kerajaan. Kalian harus mengemasi semua barang-barang kalian dan pergi dari sini. Jika kalian membangkang perintah kami, pasukanku akan datang dan menghukum kalian!” “Tunggu!” lantang suara tiba-tiba menerobos ketegangan. “Ki Lurah, saya mohon untuk menahan senjata.” Terdengar orang berkata-kata dan tiba-tiba muncul Toh Kuning dari kegelapan. Ia berkata dengan tenang, ”Kami mengira jika kami meneruskan perjalanan maka kawanan begal akan menghabisi nyawa kami semua. Dan pemimpin kelompok kami…” Toh Kuning menghentikan ucapannya lalu menunjuk orang bertubuh kurus itu lalu ia meneruskan, ”… memilih tempat ini untuk bermalam agar kami aman dari kejahatan yang mungkin telah mengintai kami sejak dari Tumapel.” “Ki Lurah.” Toh Kuning melangkah mendekati para prajurit.  ”Larangan itu membuat kami yang terbiasa melakukan perjalanan jauh untuk banyak keperluan merasa seperti diawasi. Paugeran itu seperti membuat dinding tebal antara rakyat dengan kerajaan. Seolah-olah kerajaan sudah tidak percaya pada kami. Maka saya mohon tidak ada kekerasan yang terjadi di tempat ini.” “Kau pintar bertutur kata,” sahut lurah prajurit. Ia melanjutkan kemudian, ”Sangat disayangkan jika akhirnya kau berada dalam pergaulan dengan orang-orang seperti mereka.” Lurah prajurit itu sebenarnya sudah tidak sabar untuk memaksa kelompok Ki Ranu Welang untuk pergi, tetapi kehadiran Toh Kuning memberi kesan yang berbeda dalam hatinya. Ia berpikir bahwa tidak ada salahnya jika mencoba untuk menahan diri untuk sejenak waktu. Dan ternyata rasa tidak sabar untuk melawan prajurit Kediri juga menyembul dalam hati orang bertubuh kurus sebagai pimpinan kelompok Ki Ranu Welang. Hampir saja ia meloloskan senjata jika Toh Kuning tidak segera melangkah keluar dan berdiri di tengah-tengah mereka. “Ki Lurah, saya mohon sekali lagi, satu permohonan yang yang benar-benar berasal dari hatiku,” berkata Toh Kuning mencoba merayu lurah prajurit. Ia menangkup kedua telapak tangannya. “Tuan, tentu akan menjadi perbuatan yang baik jika Anda memberi perintah anak buah Anda untuk membiarkan kawan-kawanku ini tetap bermalam di tepi telaga. Kami bukanlah orang jahat dan bukan orang yang mampu membela diri. Kami membawa senjata hanya untuk menjaga diri, bukan untuk kepentingan yang lain.” “Anak Muda, usaha keras dan sikapmu memang tidak menyinggung kami. Tetapi tugas kami adalah menjadikan apa yang telah diperintahkan raja untuk dipatuhi semua orang,” berkata lurah prajurit namun kali ini ia meminta pasukannya untuk tidak bersikap siaga. (bersambung)  

Sumber: