Ingin Duduk Bersama di Pelaminan, Mengapit Seorang Pria
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya “Gila,” respons Aik. Ia balas memandang mata Yeti. Tajam. Ada tanda tanya besar tergambar dari sorot itu. Juga ketidakmengertian. Juga kebingungan. Dan sejenis. Dan semacam. Dan sebangsa. Bahkan kengerian. Tapi, tidak lama kemudian wajah Aik menunduk. Matanya memandang deretan semut hitam mengusung bangkai lalat. Kompak. Kadang mundur, kadang maju serempak. “Lihat semut-semut ini. Seperti kita. Kompak. Tapi, tidak selamanya kita bisa selalu bersatu seperti mereka,” tutur Aik. “Kenapa? Apa yang menyebabkan kita tidak bisa seperti mereka? Kematian? Biar hal itu yang menjadi satu-satunya pemisah kita. Bukan perkawinan seperti yang kau bayangkan. Aku tahu isi hatimu. Iya kan?” kata Yeti sok tahu sambil menyentuh pundak Aik. “Masalahnya, apakah orang tua kita setuju dengan pikiran kita yang gila ini?” “Harus setuju!” tegas Yeti, “Jujur saja, siapakah cowok yang kau taksir?” Aik memandang mata Yeti. Seperti menakar kedalaman arti pertanyaan sahabat karibnya itu, “Selama ini hatiku sudah menentukan pilihan. Tapi aku tidak berani mengungkapkannya. Juga kepadamu. Aku juga belum yakin, apakah dia punya perasaan yang sama kepadaku.” “Siapa?” “Hartoyo.” “Hartoyo bos otomotif yang juga pemilik tambak itu?” “Ya. Panggilannya Yoyok. Mas Yoyok,” tutur Aik sambil menunduk. Tiba-tiba tawa Yeti meledak. Seperti helilintar membelah Gunung Bromo. Wkwkwk wcwcwc. “Ik, dengar. Dua hari lalu Mas Yoyok idolamu itu menemui aku. Dia bilang ingin meminangku. To the point mengajak menikah secepatnya,” cerita Yeti dengan mata berbinar, “Tapi aku minta waktu sepekan untuk menjawabnya.” “Lantas jawabanmu nanti?” Ada nada penasaran pada suara Aik. “Aku menunggumu. Kalau engkau setuju dengan ideku tadi, aku akan menerima pinangan dia. Tentu dengan syarat harus sekalian menerimamu sebagai istrinya pula. Kita duduk bersama di pelaminan. Bertiga.” Tanpa terasa keringat dingin mulai membasahi dada dan perut Aik. Pelan-pelan menjalar ke punggung, tengkuk, dan akhirnya ke dahi. Anak tunggal pemilik toko kelontong sederhana di kawasan Sawahan itu mendesah pelan. Bersamaan dengan itu, perlahan kesunyian mengambil alih keceriaan yang sebelumnya merebak di antara mereka. Mulut keduanya mendadak terkunci. Mata mereka bagai bola liar yang menggelinding tak tentu arah. “Kamu sendiri menyukai dia? Mencintainya?” tanya Aik. “Jangan pikirkan perasaanku. Apa pun yang kau sukai pasti aku sukai juga.” “Tapi, kali ini kita bukan membicarakan benda atau mainan seperti boneka, tas, jam tangan, atau hobi seperti renang dan senam,” Aik mencoba mengingatkan. “Apa artinya semua hal di luar sana bagi kita? Kita satu jiwa, Aik. Kita hanya dipisahkan dua raga. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Ingat itu,” jawab Yeti dengan nada meninggi. Kembali kesunyian menyergap. Menggelitik kata hati. Membuka mata batin. “Aku tidak yakin orang tua-orang tua kita menyetujui pikiran kita. Mas Yoyok pun belum tentu setuju,” tutur Aik lirih. “Kalau Yoyok nggak setuju ya sudah. Kita batalkan. Gitu aja kok repot. Kalau setuju, kita perjuangkan persetujuan orang tua-orang tua kita,” sambar Yeti. Aik terdiam. (bersambung)
Sumber: