Penghasilan Terjun Bebas, Pandemi Pukul Nasib PKL Rungkut

Penghasilan Terjun Bebas, Pandemi Pukul Nasib PKL Rungkut

Surabaya, Memorandum.co.id - Dua tahun lebih pandemi membuat pelaku Pedagang Kaki Lima (PKL) yang selama ini berjualan di Jalan Raya Rungkut depan pabrik Rokok Sampoerna kelabakan. Tanggungan beban utang bank menumpuk, sementara kebutuhan untuk mengangsur masih jauh pasak dari tiang. Para pelaku usaha mikro dan ultra mikro ini belum bisa bangkit maksimal. Karena kembali menghadapi gelombang pandemi. Jika dibiarkan, mereka bisa terjebak rentenir maupun pinjaman online (pinjol) ilegal. Pedagang pakaian, Settu, mengaku dua tahun ini terpaksa tak lagi berjualan di Raya Rungkut. Karena adanya larangan. Apalagi Kota Surabaya saat ini masuk level 3. Meski sebelum pandemi, wilayah depan pabrik rokok Sampoerna menjadi ladang emas bagi pedagang. "Sebelum Corona, dalam empat jam saya bisa membawa pulang Rp 3 juta," tegas Settu. Pria asal Kedamaian, Kabupaten Gresik ini mengaku tetap ikhlas menjalani bisnis baju yang sudah ia jalani kurang lebih 15 tahun itu. "Terasa setelah pandemi ke tiga ini, kami pelaku PKL merasakan sulitnya mencari rejeki di jalan," urai dia. Untuk meneruskan kebutuhan hidup, pedagang baju ini harus rela berpindah pindah tempat. Di mana ada lokasi yang strategis untuk berjualan, Settu bersama pedagang PKL lainnya memilih berjualan. "Setiap hari harus berkeliling, supaya modal bisa berputar," tandasnya. Saat ini, setiap Sabtu pagi berjualan di akses Jalan Waru Gunung depan Metro, setiap pagi berjualan di pasar kaget di depan Balaidesa Tawangsari. Minggu pagi berjualan ke akses jalan Masangan Wetan. Setiap Sabtu malam, ia bersama puluhan PKL lainnya berjualan di lokasi Puspa Agro. Berjualan di lokasi milik Pemprov Jatim, juga membutuhkan biaya. Seperti biaya lampu, sewa lahan, biaya kebersihan. "Memang murah, sekitar Rp 50 ribu," tegas dia. Namun setiap jualan penghasilan dagangan, terkadang tidak lebih dari Rp 100.000. "Karena memang daya beli saat ini sangat rendah. Sehingga semuanya terdampak," kata Settu. Dalam dua tahun terdampak pandemi, pedagang yang kini tinggal di Ngelom, Kecamatan Taman, Sidoarjo, satu mobil Honda Jazz miliknya harus dijual untuk tambahan modal usaha. "Dulu cicilan Bank sebesar Rp 15 juta kami bisa lalui, tapi sekarang cicilan bank tidak kurang Rp 2 juta sangat susah," kata dia. Terpisah, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa meminta kepala daerah se Jatim mendukung Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau Bank Daerah di Jawa Timur membuat inovasi program perkreditan yang murah dan mudah untuk masyarakat kecil khususnya pelaku usaha Mikro dan ultra mikro. "Inovasi dan terobosan tersebut dibutuhkan guna percepatan pemulihan ekonomi Jawa Timur di masa gelombang ketiga Pandemi Covid-19," tutur Khofifah. Gubernur perempuan pertama di Jatim ini, berharap bantuan kredit pada pelaku usaha ultra mikro dan UMKM. Agar sektor ekonomi bisa segera pulih. "Beri mereka juga pendampingan agar modal yang diberikan bisa benar-benar termanfaatkan dengan baik," ungkap Khofifah. Khofifah mengatakan sulitnya memperoleh pinjaman modal untuk usaha, mengakibatkan banyak pelaku usaha yang meminjam kepada rentenir maupun pinjaman online (pinjol) ilegal. Alhasil, bukannya usaha semakin maju, namun mereka justru terjerat dalam lilitan hutang. Khofifah mengatakan, keberadaan BPR memberikan alternatif yang aman bagi masyarakat untuk menyimpan dananya karena dijamin oleh LPS, sekaligus juga dapat melayani kebutuhan masyarakat setempat akan pinjaman dari bank. "Masyarakat kecil sering kesulitan mengakses lembaga keuangan formal seperti bank-bank besar. Nah disitulah seharusnya BPR memainkan peran strategisnya," imbuhnya. Khofifah menyebut bahwa cukup banyak masyarakat di Jatim, utamanya para pelaku usaha ultra mikro tidak memiliki modal sehingga mereka terjerat para rentenir. "Dibutuhkan dukungan dan kolaborasi semua pihak guna memutus mata rantai rentenir dan pinjol ilegal," tegas dia. (day)

Sumber: