Menantu Durhaka (1)
Gak Mau Sambang Ortu
Didin dan Lisa (keduanya samaran) adalah pasangan yang tidak dapat dijadikan teladan kaum muda. Mereka tidak pernah akur. Suami-istri yang tinggal di kawasan Manukan ini selalu terlibat pertengkaran. Untung Lisa orangnya sabar dan selalu bisa mengalah. Hal sekecil apa pun di mata Didin dipandang besar dan pasti menimbulkan persoalan. Contoh, suatu hari Lisa terlambat masak karena tidak ada tukang sayur lewat. Akibatnya, Lisa harus berbelanja di pasar krempyeng sebelah kompleks perumahan. Didin marah-marah karena terlambat sarapan, padahal perutnya sudah diganjal roti oleh-oleh dari kerabat Lisa yang semalam mampir ke rumah. Kasus lain, Didin yang setiap hari ditumpangi anak semata wayangnya berangkat sekolah marah hanya lantaran sang anak, sebut saja Nanang, terlalu lama menyantap sarapannya. Sepanjang jalan Nanang dibentak dan dijundu-jundu kepalanya. Beberapa bulan lalu Lisa dikabari bahwa ayahnya yang tinggal di Tulungagung sakit keras dan harus diopname. Lisa gelisah dan ingin segera pulang kampung melihat kondisi sang ayah. Lisa kepikiran lantaran ayahnya hanya tinggal bersama ibunya yang juga sering sakit-sakitan. Dua kakaknya tinggal di luar pulau. Satu menjadi guru, yang satu kondisi ekonominya pas-pasan. Satu lagi adiknya yang bungsu menjadi pekerja migran di Eropa. Harapan satu-satunya ayah dan ibu adalah kehadiran Lisa. Selain tinggal di Surabaya yang relatif dekat dan bisa dijangkau dalam hitungan jam, kondisi ekonomi Lisa diharapkan bisa meringankan beban orang tua. Tapi, apa reaksi suami Lisa? Didin bergeming. Hingga lewat dua minggu, Didin mengaku masih disibukkan urusan bisnis sehingga belum ada waktu untuk sekadar menengok mertua. Ada-ada saja alasan yang disampaikan kepada Lisa. Yang sibuk mengentertain rekan bisnislah, yang sibuk menyelesaikan pesananlah, yang dikejar deadline-lah. Dll. Dsb. Dst. Intinya, Didin bersembunyi di balik kesibukan. Karena tidak sabar, Lisa akhirnya nekat berangkat sendiri ke Tulungagung. Dia tidak mengajak Nanang karena anak ini harus bersekolah. Tidak seperti yang diperkirakan, ternyata Lisa tidak bisa sehari-dua hari di tanah kelahirannya. Sang ayah memang kondisinya makin membaik, tapi justru ibunya yang sering drop. Masuk hari kesembilan keberadaan Lisa di rumah orang tuanya, ibunya meninggal dunia. Semua saudaranya pulang. Demikian juga kerabat dan famili-famili dekat, semua berdatangan. Justru Didin yang diharapkan kedatangannya tidak segera muncul. Empat hari pasca penguburan ibunya, Didin baru muncul. Tanpa disertai ucapan bela sungkawa kepada saudara-saudara Lisa, tanpa permintaan maaf. Didin hanya bersalaman dengan ayah mertuanya dan orang-orang yang berada di ruang tamu, kemudian langsung masuk kamar dan tidak keluar-keluar sampai keesokan pagi. Dia juga tidak nongol di majelis tahlil yang digelar di ruang tamu. Pagi ketika sarapan, baru Didin mengajak Lisa berbicara serius. Dia menyatakan tidak mau andai nanti ayah Lisa tinggal bersama mereka di Surabaya. Sebaiknya ayah mertua ikut saudara-saudara Lisa yang lain. (bersambung)Sumber: