Ayah Cecunguk, Pacar Kampret (4)
Perkenalkan Pacar ke Ortu
Qudori berjanji secepatnya mengajak pacar ke rumah. Yang jelas, kabar bahwa ayah dan ibunya sudah welcome segera dikabarkan ke Endang. Kabar itu disambut baik. Tepat pada hari yang sudah ditentukan akhirnya Qudori menjemput Endang di rumahnya di daerah perbatasan Surabaya-Sidoarjo. “Aku tidak sabar terlalu lama berada di perjalanan. Kemacetan di kawasan Karangpilang amat menyesakkan. Aku ingin terbang saja membawa Endang menembus halangan dan rintangan.” Alhamdulillah sebelum jam makan siang seperti yang direncanakan, mereka sudah berada di muka pintu rumah. “Kami mengetuk pintu dan dibukakan Mama. Dia tersenyum lebar menyambut kami,” kata Qudori, yang mengaku bahagia melihat deretan gigi putih mamanya. Saling memerkenalkan nama dan cipika-cipiki mereka lakukan dengan suasana ceria. “Yang, ini Mama,” kata Qudori kepada pacarnya. “Ma, ini Endang,” tambah Qudori. Kedua perempuan yang paling disayangi Qudori ini lantas terlibat percakapan kecil. Qudori menatap mereka seolah melihat masa depan bahagia. Entah sadar atau tidak, hampir setengah jam mereka menghabiskan waktu bercakap sambil berdiri. Qudori sempat menoleh ke sana-kemari mencari sesuatu, tapi yang dicari tidak ada. “Papa ke mana?” tanya dia kepada mamanya. “Tadi di belakang Mama. Ke mana sekarang?” tutur mama Qudori sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Juga ke belakang. Kosong. Ternyata yang dicari tampak sedang terduduk lesu di sofa. Dia sama sekali tidak merespons ketika namanya dipanggil sang istri. Juga ketika namanya disebut Qudori. Wajahnya masih ditenggelamkan di antara kedua lutut. “Pa… ini Endang,” kata Qudori sambil berdiri di depan ayahnya. “Yang… ini Papa,” kata Qudori lagi. Mukatam perlahan-lahan mengangkat wajah. Sangat pelan. Wajah itu sama sekali tidak berekspresi. Jangankan tawa, senyum tipis saja tidak. Tatapannya kosong. Ketika sedang melihat wajah ayahnya yang tampak aneh, Qudori merasakan tubuh Endang di samping kirinya melorot perlahan-lahan. Perlahan-lahan dan akhirnya nglimbruk tiada tenaga. Endang pingsan. Suasana kacau. Endang segera diangkat ke sofa. Dibaringkan selonjor. Seluruh tubuhnya diblonyoh minyak kayu putih. Pelan tapi pasti kesadarannya berangsur pulih. “Aku mau pulang,” tuturnya lirih. “Ada apa?” tanya Qudori. “Takut. Aku pulang saja,” kata Endang sambil bola matanya liar berputar-putar. Ibu Qudori turut menenangkan, namun Endang pelan berusaha menepis tangan perempuan tersebut. “Takut, Tante. Endang Pulang saja,” kata Endang mengulangi permintaannya. “Ya sudah. Qudori, segera antarkan Endang pulang dulu. Perkenalannya kita tunda dulu,” kata ibunda Qudori. (jos, bersambung)Sumber: