Beli Barang Bonus di Ranjang (5-habis)
Seksualitas Geser ke Ranah Publik
Penulis: Tim Memorandum Sosiolog Unesa Ali Imron S Sos MA menyampaikan fenomena transaksi seks terselubung yang dilakukan sales promotion girl (SPG) bertentangan dengan norma dan nilai sosial. Selain itu, kontrol sosial terhadap fenomena ini masih sulit dilakukan. Tentu tidak semua SPG berperilaku menyimpang. "Fenomena tersebut terjadi dalam masyarakat kita. Seksualitas adalah ranah privat atau privasi. Namun saat ini mulai bergeser ke ranah publik, sehingga praktik transaksi seksual terjadi di sebagian kalangan masyarakat," terang Ali Imron. Alumni Sosiologi Unesa ini tidak menampik faktor utama penyimpangan seksual adalah ekonomi. Termasuk perilaku SPG yang melakukan transaksi seks menyimpang, dengan istilah beli barang bayar di ranjang ini. "Kompetisi ekonomi di perkotaan sangat kuat sehingga daya dukung ekonomi kota berkurang," urai dia. "Potensi terjadinya penyimpangan bisa terjadi pada warga kota karena ketatnya praktik pemenuhan kebutuhan ekonomi termasuk pemenuhan gaya hidup," sambung Ali. Selain itu, Ali menyebutkan kemudahan mendapatkan akses informasi teknologi. Di lain sisi, kemudahan informasi acapkali dimanfaatkan untuk melanggar normal. Ia menyebutkan adanya fenomena prostitusi terselubung. "Fantasi lahir dari pengetahuan dan pengalaman. Terlebih kemudahan akses informasi. Pengetahuan dan pengalaman akan membentuk perilaku. Terlebih pengetahuan dan pengalaman tersebut diimajinasikan dalam kehidupan sehari-hari," tegas Ali Imron. Menghadang perilaku menyimpang tersebut, lanjut Ali Imron upaya pemerintah, NGO (Non-Governmental Organization) atau suatu organisasi nirlaba yang memiliki dasar kepentingan sosial dan juga lingkungan), tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua elemen sangat penting untuk melakukan kontrol sosial. Termasuk menghadapi derasnya arus globalisasi, baik ekonomi, teknologi dan budaya. "Secara umum ada upaya yang bersifat preventif dan represif. Instrumentasi norma agama, kesusilaan, sosialisasi dan edukasi yang menjelaskan bahwa seks terselubung melanggar norma dan nilai sosial," tegas dia. Secara tegas pemerintah menerbitkan Undang-Undang Antikekerasan Seksual untuk menjaga warganya agar tidak melakukan pelanggaran yang merugikan dirinya dan orang lain. Di sisi lain, kebijakan pemerintah menutup lokalisasi di sejumlah tempat, harusnya diimbangi dengan penguatan dan perlindungan lingkungan dari dampak negatif lainnya. Oleh karena itu, pemberdayaan sosial di lingkungan itu (eks lokalisasi) membutuhkan modal sosial yang kuat (norma kolektif, kepercayaan, dan jaringan sosial). "Strateginya adalah pemberdayaan masyarakat dari sisi ekonomi. Aspek ekonomi menjadi salah satu solusi pemberdayaan masyarakat," bebernya. Selain itu, kontrol terhadap perilaku menyimpang SPG menjadi tanggung jawab perusahaan. Supervisor atau koordinator lapangan harus melakukan kontrol. "Melalui mekanisme kontrol yang bagus, perilaku menyimpang SPG bisa dikendalikan," jelas Ali Imron. Menyinggung hilangnya lokalisasi, di satu sisi mempunyai dampak positif karena prostitusi tidak ada lagi di Kota Surabaya. Namun sisi negatif lainnya, kontrol terhadap penyebaran penyakit akibat seks bebas. Seperti HIV/AIDS semakin sulit. "Dulu ada lokalisasi, semuanya bisa dipantau dan dikontrol," tegas Ali Imron. Ia tidak menampik prostitusi terselubung itu membuat kontrol pemerintah terhadap ancaman penyebaran penyakit juga sulit. "Ini pekerjaan bersama meminimalisir ancaman dampak yang ditimbulkan harus perlu dilakukan," pungkas Ali Imron. Sekadar catatan dan juga warning bagi SPG yang memberikan pelayanan plus-plus ternyata bisa berhadapan dengan jeratan hukum. Begitu juga bagi penikmatnya. Berdasarkan pasal 284 KUHP menerangkan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual dengan pasangan sah (suami atau istri) orang lain dapat dihukum karena perbuatan zina dengan ancaman hukuman penjara paling lama 9 bulan. Ini merupakan delik aduan absolut. Artinya terlapor tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak pasangan sah yang dirugikan. (selesai)Sumber: