Menikah Muda dengan Gadis Impian

Menikah Muda dengan Gadis Impian

Kali ini Memorandum akan mengupas perjalanan kuliah dr Bagoes Soedjito Suryo Soelyodikusumo atau disapa dr Bagoes di Fakultas Kedokteran (FK) Unair hingga akhirnya dipertemukan sosok pujaan hati seperti dalam mimpinya. Waktu semester 1 tingkat 1 pada 1988, awal kuliah dr Bagoes yang digantikan dengan kata saya itu dekat dengan teman-teman alumnus St Louis dulu. Sehingga terasa bahwa kita ini minoritas karena tidak banyak mahasiswa dari SMA swasta yang bisa masuk FK Unair. Di kuliah, saya ketemu seorang gadis yang persis dengan mimpi saya selama ini namanya Fany. Dia berasal dari Cepu, Jawa Tengah. Dia campuran Tionghoa dan Jawa.  Seperti biasa bila malam saya berkunjung dari satu teman ke teman lain, tapi yang pasti saya ke tempat kos Fany dulu, baru setelah itu ke kos teman-teman yang lain. Penampilan saya jauh beda daripada waktu SMA dulu, sekarang benar-benar seperti bule yang terawat. Banyak yang mau berteman lebih dekat dengan saya, bahkan papa dan ibu memperkenalkan saya dengan banyak orang tetapi tujuan utama saya adalah Fany. Ada saja alasan saya untuk ke kos Fany (pinjam buku, minjamin buku). Mata pelajaran semester 1 ini adalah seperti SMA, saya meraih IPK lebih dari 3. Saya mulai berpacaran dengan Fany di semester 2 tingkat 1 pada 1989. Setiap hari saya pasti ke kos Fany untuk makan. Mulai pertengahan semester hampir seluruh waktu saya habiskan berdua dengan Fany. Fany menceritakan bahwa sebenarnya dia tidak suka masuk kedokteran, tapi karena dipaksa oleh kakak iparnya yang bekerja di UI dan dikti. Selain itu kakak ipar Fany yang menyuplai kehidupan Fany dan keluarganya, hingga akhirnya dia terpaksa masuk FK. Di akhir semester 2 tingkat satu, saya menikah dengan Fany secara diam-diam di gereja. Tetapi saya tetap tinggal di Jalan Panglima Sudirman dan Fany di kos-kosan. Keputusan kita menikah muda pada waktu itu agar kita tidak  terlepas satu sama lain. Kami sering bertengkar dengan Fany karena segala hal. Seperti perbedaan pendapat, keuangan, dan pergaulan. Papa saya belum merestui hubungan dengan Fany. Di akhir Semester 3 ini saya berpisah dengan Fany. Saya disarankan untuk pindah kuliah di Rutgers University, Princeton, NYU atau Columbia, karena nilai TOEFL saya sangat tinggi (> 550). Saya bilang saya pikir-pikir dulu karena terus kepikiran Fany dan oma. Saya sambung lagi dengan Fany di awal semester 2 tingkat 2, tetapi tanpa setahu ayah. Pada 1992, Fany keguguran anak kita yang pertama. Saya sangat sedih waktu itu hingga dua bulan stres. Karena prestasi akademik sangat baik, saya akhirnya diwisuda menjadi Sarjana Kedokteran. Sekitar 1993-1994, sebagai dokter muda saya disibukkan dengan seringnya tugas jaga di rumah sakit. Banyak anak naksir saya, tapi untuk menangkal semua itu saya bilang bahwa saya sudah menikah dan sudah punya anak. Saya lulus dengan baik di semua bagian, seperti Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Saraf, Ilmu Penyakit Jiwa, Ilmu Penyakit Anak, Ilmu Radiologi lulus dengan nilai sangat baik, dan Ilmu Farmakologi/Farmasi Kedokteran. Sebagai dokter muda pada 1994-1995, kembali prestasi akademik saya sangat baik. Saya lulus dengan baik di semua bagian Ilmu Penyakit THT, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ilmu Penyakit Obsgyn, Ilmu Penyakit Bedah, Kesehatan Masyarakat, Ilmu Penyakit Mata, dan Forensik lulus dengan sangat baik. Mama sangat berjasa sehingga saya menjadi lulusan terbaik di yudisium. Pada 5 September 1995, saya dilantik sebagai dokter. Saya pindah agama menjadi Islam, di akhir pendidikan dokter ini saya berpisah dengan Fany lagi. Pada 1995-1997, perjalanan saya menjadi dokter PTT. Saya masih ingin bersama Fany (pada saat itu Fany sudah berhubungan dan akan menikah dengan lelaki pengusaha yang bernama Ferry, tapi orang tua Fany tidak menyetujui Ferry). Karena saya belum juga memberikan kepastian akhirnya Fany meninggalkan saya dan menikah dengan Ferry. Beberapa waktu kemudian, Fany menghubungi saya, dan akhirnya saya bersama Fany lagi di rumah Sutorejo. Pada 1996-1997, saya sebagai dokter PTT di rumah sakit pemerintah. Karena dibantu ayah saya yang pada waktu itu mempunyai posisi sangat penting di Pemprov Jatim, saya bisa segera ditempatkan dan mendapat tempat yang cukup strategis yaitu sebagai dokter PTT di Waru, Sidoarjo. Pada 1997-1998, saya menyelesaikan ujian untuk mendapatkan praktik di Amerika Serikat. Saya harus lulus tes USMLE dulu, jadi di sana saya ambil bimbingan tes USMLE di Kaplan, 56th street Manhattan, New York, USA. Setelah selesai ujian USMLE, dan ijin praktik sudah bisa didapat dan saya siap melanjutkan spesialisasi di USA. Pada 1998-1999,  saya melanjutkan program spesialisasi di bidang Dermatology Surgery di Wuppertal, Duesseldorf, Germany. Setelah mendapatkan sertifikat kebimbangan saya mulai muncul lagi, saya ingin mengambil spesialisasi jantung atau Obsgyn dan saya ingin ke Indonesia lagi. Akhirnya pada 1999-2000 kembali bekerja sebagai dokter PTT di Tuban. Waktu itu teman mama di Departemen Obsgyn UI bisa menerima saya untuk pendidikan spesialisasi. Tentunya tetap mengikuti prosedur yang berlaku, yaitu saya harus selesai melaksanakan wajib tugas saya sebagai dokter PTT dulu. Sekitar 2000-2001, agar tugas saya sebagai dokter PTT bisa diselesaikan lebih cepat disarankan untuk pindah ke daerah yang terpencil. Akhirnya saya pindah ke Kecamatan Wonokarto, Kabupaten Pacitan. Ternyata ada jalan lagi agar wajib tugas PTT saya bisa selesai lebih cepat lagi, yaitu dengan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) penuh. Akhirnya saya ikut tes PNS yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (fer/nov/bersambung)  

Sumber: