Ingin Menyelamatkan Janda tanpa Mengorbankan Keluarga

Ingin Menyelamatkan Janda tanpa Mengorbankan Keluarga

Yuli Setyo Budi, Surabaya Waktu itu 27 Desember pukul 23.00. Satu jam lagi masuk ulang tahun Supri, hari yang dipilih untuk mengungkapkan rahasia besarnya kepada Mala, sang istri. Supri naik ranjang dengan hati berdetak keras. Sanggupkah dia? Supri pura-pura tidur. Pura-pura nyenyak. Pura-pura, sesuatu yang belum pernah dia lakukan. Setelah itu waktu seperti berjalan lambat. Dengan mata terpejam Supri menunggu kejutan yang—diharapkan—bakal diberikan istri dan anak-anaknya. Kejutan ulang tahun. Seperti tahun-tahun lewat, seperti yang diharapkan, tepat pukul 24.00 Supri merasa badannya digoyang-goyang. Supri masih pura-pura lelap. Istri dan kedua anaknya lantas menyanyikan lagu Happy Birthday dengan serempak dan suara keras. Kala itulah Supri melanjutkan acting pura-pura kaget, terbangun, dan memandang sekeliling. Maka, berhamburanlah peluk cium dari istri dan anak-anak sambil berucap, “Selamat ulang tahun, Abah…” Mereka lantas bersama-sama pindah ke ruang keluarga. Potong kue ultah, makan dan minum, serta memberikan hadiah khusus untuk Supri. Prosesi ulang tahun khas keluarga kecil Supri-Mala yang sudah berlangsung sejak kelahiran anak pertama mereka. Sederhana tapi romantis. Tak lama kemudian anak-anak digiring ke kamar tidur masing-masing, sebelum Supri menggiring Mala ke kamar tidur sendiri. Sensor-sensor-sensor… sekitar 1-1,5 jam. Usai melaksanakan kewajiban, dan tampaknya sangat memuaskan, telinga Supri dibisiki Mala, “Abah ingin hadiah apa dari Umik (sebutan Mala oleh Supri dan anak-anaknya, red)?” Pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh Supri. “Apa pun?” desaknya. “Apa pun. Asal tidak meminta bulan dan matahari, Umik akan mempersembahkan untuk Abah!” tandas Mala. “Boleh Abah minta waktu untuk memikirkan permintaan itu?” “Nanti malam. Sebelum tengah malam nanti Abah harus sudah menyampaikan permintaan Abah. Setuju?” Supri mengangguk. Dadanya berdetak keras. Hatinya sibuk menyusun kata-kata dan kalimat yang akan disampaikan kepada Mala. Kata-kata yang sejuk. Kata-kata yang manis. Agar tidak menyakiti. Agar tidak menimbulkan amarah. Seharian penuh Supri berpikir keras untuk itu. Tapi buntu. Supri merasa tidak bakal menemukan kata-kata sejuk dan manis, yang bisa dirangkai untuk menyampaikan kenyataan seperti ini. Di jalan, di tempat kerja, di toilet, di mana saja, kata dan kalimat itu belum juga ditemukan. Sampai menjelang masuk rumah sepulang kerja Supri pun ditemukan kata yang tepat. Kalimat yang pas. Bahkan sampai tiba masanya Supri harus naik ranjang seusai mandi. Di sisi lain, Supri melihat mata Mala penuh binar menanti di ranjang yang spreinya diganti baru. Masih menampakkan warna menyala. Masih menyirapkan bau harum. Supri sempat hendak mengurungkan niat untuk menyampaikan kata hatinya. Kasihan Mala. Dia pasti akan shock dan marah. Tapi kalau kenyataan itu tidak disampaikan, bagaimana dia menghadapi Suwanti? Padahal dia sudah memberikan sinyal hahwa dirinya juga mengasihi Suwanti tatkala perempuan tersebut berterus terang mencintainya. Suwanti bahkan rela menjadi istri kedua Supri. Ada pertimbangan lain mengapa Supri menanggapi cinta Suwanti. Pertama, perempuan tersebut janda yang perlu diselamatkan. Artinya, Suwanti dengan seluruh kekayaannya tidak boleh lepas ke tangan lelaki yang salah. Salah memilih jodoh akan menghancurkan masa depan perempuan yang masih tampak muda pada usianya yang menginjak kepala empat ini. Pertimbangan kedua, dia ingin membalas budi Suwanti yang telah mengubah hidupnya dari zero menjadi hero. Walau perubahan itu bukan semata karena Suwanti, diakui Supri bahwa peran perempuan itu sangat besar. Berkat Suwanti pula Supri mampu mengangkat status sosial anak dan istri, keluarganya, ke level yang jauh lebih tinggi dibanding ketika Supri kali pertama bertemu Mala, saat menerjuni pekerjaan sebagai sopir angkot. (bersambung)    

Sumber: