Tentang RUU TPKS, Lia Istifhama: Hukuman Kebiri sebagai Efek Jera

Tentang RUU TPKS, Lia Istifhama: Hukuman Kebiri sebagai Efek Jera

Surabaya, memorandum.co.id - Seperti diketahui, hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang sebelumnya berjudul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan. Padahal RUU tersebut sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak 2012. Hal ini kemudian memantik reaksi dari aktivis perempuan, Ning Lia Istifhama. Aktivis asal Surabaya yang sebelumnya masuk dalam tiga besar Tokoh Muda Jatim yang Disukai Versi ARCI itu menjelaskan tentang urgensi RUU TPKS. “Saat direlevansikan fakta lapangan terkait tingginya beragam macam kasus kejahatan atau kekerasan seksual, maka RUU TPKS ataupun regulasi lainnya yang bertujuan menekan kasus tersebut harus kita dukung,” tegasnya, Minggu (19/12/2021). “Sebagai orang tua dan juga bagian masyarakat, kita semua tentunya wajib menjaga keselamatan anak-anak kita dan generasi mendatang. Bagaimana kehidupan mereka tetap nyaman, aman, dan bahagia adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua mereka," sambung Sekretaris MUI Jatim ini. Dengan tegas, Ning Lia menjelaskan pentingnya efek jera pelaku, sebagai contoh hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. “Sanksi yang berat sangat diperlukan sebagai efek jera atas kejahatan seksual. Jika tidak, maka pelaku kejahatan seksual bisa berpotensi di manapun, kapanpun, pada siapapun. Hal ini disebabkan sanksi hukuman yang dianggap ringan oleh mereka. Namun sebaliknya, jika sanksi berat diberlakukan, sebagai contoh kebiri, maka ini akan menjadi shock therapy dan secara psikologis mencegah seseorang melakukan kejahatan tersebut," paparnya. Saat disinggung sisi moral atas hukuman kebiri, Ning Lia menegaskan agar semua orang harus adil dengan memikirkan sisi traumatis yang dialami korban pelecehan seksual. “Kebetulan saya pernah melakukan studi penelitian tentang resiliensi korban pelecehan. Dari studi tersebut, diketahui bahwa anak-anak memang mengalami trauma yang sangat mendalam. Bahkan, kadang kala banyak yang justru stres karena diinterogasi pihak tertentu tentang detail kejadian yang dialami mereka. Hal ini justru membuat mereka seolah dipaksakan mengingat pengalaman yang sangat pahit tersebut," beber dia. “Selain itu, studi yang saya lakukan juga menjelaskan bahwa perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual, lebih cepat memasuki fase resiliensi, yaitu bangkit dari masa trauma. Namun berbeda jauh dengan korban yang laki-laki. Bahkan kita harus jujur, anak laki-laki yang pernah menjadi korban, kebanyakan mengalami perubahan psikologis yang tidak mudah untuk dikembalikan seperti semula," imbuh Ketua III STAI Taruna Surabaya ini. Ning Lia kemudian berharap agar segala dampak yang dialami anak-anak korban pecelahan seksual ataupun keluarga mereka, menjadi empati semua pihak. “Marilah kita bangun empati, mau merangkul mereka dan berbuat agar mereka bisa melewati masa trauma dan hidup normal. Selain itu, mari kita bergandengan tangan mencegah kejahatan seksual. Setidaknya, sanksi sosial bagi para pelaku sangat wajar kita berikan sebagi bentuk efek jera. Sekalipun, sanksi tersebut tidak akan bisa setimpal dengan segala penderitaan korban pelecehan seksual dan keluarganya,” pungkasnya. (mg3/fer)

Sumber: