City Nine Keluhkan Dana Partisipasi Miliaran

City Nine Keluhkan Dana Partisipasi Miliaran

  SURABAYA - Besarnya nilai retribusi izin pemakaian tanah surat ijo ke hak guna bangunan (HGB) di atas hak pengelolaan lahan (HPL) dikeluhkan pengembang ruko City Nine. Meski telah membayar Rp 33 miliar, namun pihak pengembang masih diharuskan melunasi dana partisipasi Rp 14 miliar kepada Pemkot Surabaya. Susanto, Direktur PT Tansil Sukses Jaya pengembang City Nine, mengaku sangat kecewa dengan aturan perwali mengenai retribusi HGB di atas HPL yang dinilai sangat memberatkan. Sehingga, pembangunan ruko di Jalan Gresik yang diprediksi tahun ini tuntas, justru terhambat dan dihentikan Pemkot Surabaya karena tak kantongi IMB (izin mendirikan bangunan). "Saya heran, awalnya mulai Agustus 2017 tiap tahun bayar retribusi Rp 287 juta. Pemkot janji terbitkan rekom tanah surat ijo ke HGB di atas HPL. Kalau dihitung-hitung dikalikan 20 tahun berkisar Rp 5 miliar yang kita lunasi,” kata Susanto kepada Memorandum, Rabu (18/9). Tiba-tiba, lanjut Susanto, Pemkot Surabaya mengeluarkan nilai pajak retribusi melalui perwali sebesar Rp 47 miliar untuk rekomendasi tanah ijo ke HGB di atas HPL tersebut. Dengan perincian Rp 33 miliar untuk retribusi dan Rp 14 miliar untuk dana partisipasi. “Yang jelas kita kaget, mana bisa pengusaha atau pemilik surat ijo terus dikenakan 200 tahun untuk dapat HGB di atas HPL 20 tahun. Kalau memang dana partisipasi tertuang di aturan perwali itu dasarnya apa? Ya, tentu kita sebagai warga Surabaya mentaati peraturan pemerintah dengan harapan rekom segera keluar,” ungkap dia. Susanto mengatakan, Pemkot Surabaya tetap bersikukuh agar melunasi retribusi dan dana partisipasi Rp 47 miliar dulu, baru akan dikeluarkan rekomendasi untuk mengurus perizinan yang lainnya. “Yang saya tanyakan, sampai retribusi lunas dibayar kenapa sampai sekarang pemkot belum berikan rekomendasi tersebut. Ada nggak kira-kira pengusaha sudah mengeluarkan biaya Rp 33 miliar dan mau bayar dana pasrtisipasi Rp 14 miliar tapi status tanah tidak dikeluarkan. Inikan tidak masuk akal. Apalagi kita sudah buat surat perjanjian di notaris bisa diangsur sampai Desember 2019,” pungkas dia. Susanto berharap dengan adanya perjanjian di notaris supaya ada perhatian dari Pemkot Surabaya dan segera diterbitkan rekomendasi agar bisa mengurus SKRK (surat keterangan rencana kota). “Kalau tahu sebelumnya seperti ini, mana mungkin pengusaha berinvestasi di Surabaya. Jika regulasi yang diterapkan Pemkot Surabaya menyulitkan,” pungkas dia. Sementara itu, menanggapi tudingan mahalnya biaya untuk mengurus HGB di atas HPL ditepis oleh Kepala Bidang Pemanfaatan Tanah Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah Kota Surabaya Achmad Eka Mardijanto. Ia  menyatakan  retribusi  atas HGB di atas HPL selama 20 tahun itu sesuai harga pasar. Selain itu  yang menghitung bukan pihaknya. “Nanti kalau kita terlalu murah, dibilang menguntungkan pihak lain. Itu kan untuk komersiil,” ungkap Achmad Eka Mardijanto, Rabu (18/9). Ia menambahkan nilai sewanya  mendasari nilai pasar. Dan uangnya itu langsung ke kas daerah. “Pembayarannya tidak ada hubungannya dengan saya,” ungkap dia. Disinggung masih adanya uang partisipasi pembangunan, Eka menyatakan tidak hafal. Yang pasti, pengembang belum memenuhi kewajiban terkait permohonan HGB di atas HPL sehingga HGB di atas HPL belum bisa terbit. “Jadi pengembang tidak boleh melakukan aktivitas di sana. Apapun kegiatan di sana harus memenuhi ketentuan dan perizinan yang ditentukan pemkot,” tegas dia, Dalam kesempatan itu Eka menyatakan HGB di atas HPL tidak ada dan  IMB tidak ada,  maka tidak boleh membangun di lokasi. “Sekarang kita segel dnegan harapannya  jangan melakukan aktivitas di sana,” ujar dia.(why/udi/lis)    

Sumber: