NasDem Jatim Kawal 33 Nelayan Wadul DPR RI Protes PP Nomor 85 Tahun 2021
Surabaya, memorandum.co.id - DPW NasDem Jatim mengawal 33 nelayan daerah untuk menyampaikan aspirasinya hingga ke DPR RI melalui kegiatan rapat dengar pendapat (RDP). Mereka mewakili nelayan dari Pamekasan, Pacitan, Trenggalek, Jember, Lamongan, Gresik, Situbondo, Malang, dan Surabaya. Ketua DPW NasDem Jatim Sri Sajekti Sudjunadi menjelaskan, pemberangkatan para nelayan ini bermula dari nelayan Pamekasan yang melakukan aksi demo besar-besaran di gedung DPRD beberapa waktu lalu. "Mereka menuntut PP nomor 85 tahun 2021, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan. PP itu memberatkan mereka," kata Sri Sajekti Sudjunadi, Senin (25/10/2021). Perempuan yang akrab dipanggil Jannete ini menjelaskan, sikap DPW NasDem Jatim untuk turut mengawal aspirasi dengan memastikan nelayan tidak berjuang sendirian. Di Jakarta nelayan bersama Fraksi NasDem provinsi bertemu dengan ketua fraksi dan pimpinan Fraksi NasDem pusat di Jakarta, menyampaikan agar PP nomor 85 tahun 2021 dicabut. "Jadi di PP tersebut, ada beberapa poin, yang di antaranya mengatur bahwa mereka dikenakan beban pajak. Sementara di PP sebelumnya, seperti PP nomor 75 tahun 2015, kapal nelayan yang memiliki kapasitas 5 GT (gross ton) sampai 29 GT, itu tidak dikenakan pajak. Ini yang membuat mereka begitu berat," sambungnya. Kebijakan itu, tidak bisa diterapkan. Karena masa pemulihan ekonomi pasca diterjang badai pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. "Berbagai bantuan sosial kemarin diturunkan untuk masyakat, seperti BLT, bantuan non tunai dan sebagainya. Artinya, disaat masyarakat membutuhkan keringanan dan bantuan, kok malah lahir aturan yang membebani masyakarat," tutur dia. Senada anggota Fraksi NasDdem DPRD Provinsi Jatim, Suyatni Priasmoro mendesak pemerintah pusat meninjau ulang sebelum diterapkan. "Nelayan ini harus kita selamatkan," kata Suyatni. Suyatni menambahkan kondisi nelayan saat ini sangat terganggu. Karena itu reaktif nelayan mencabut PP nomor 85 tahun 2021 menjadi pilihan. Pada kesempatan yang sama, Wadan, nelayan asal Pamekasan mengaku, aturan dari PP memberatkan mereka. Wadan merincikan, pada PP nomor 85 tahun 2021 yang telah disahkan pada 19 Agustus lalu, kapal berukuran 5 GT ke atas sudah dikenakan beban PNBP senilai Rp 268.000 per GT. Sementara untuk pungutan hasil penangkapan (PHP) dikenakan biaya 5 persen. Kemudian ada biaya pra produksi, sepeti alat jaring tarik berkantong, yang dikenakan Rp 1.250.000 per GT. "Kapal saya itu ukuran 30 GT. Kalau dihitung semuanya berdasarkan aturan PP nomor 85, setiap tahunya saya harus bayar negara senilai Rp 60 juta. Itu belum termasuk biaya kelayakan dan surat surat. Kalau mengacu pada aturan PP nomor 75, biayanya masih dibilang wajar. Hanya dua juta per tahun," terang Wadan. Senada nelayan perwakilan asal Jember, Aska. Menurutnya, kondisi nelayan terakhir ini memang tidak menentu, apalagi ditambah dengan faktor anomali cuaca. Dalam dua tahun terakhir, hasil tangkapan ikan tidak bisa maksimal. "Sementara, nilai penjualan juga tidak sebanding dengan jerih payah kita waktu melaut. Kalau dibebankan lagi dengan aturan PP nomor 85, kita akan hancur. Mudah-mudahan perjuangan ini menemui hasil yang bagus," ungkapnya. Dalam peraturan pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan, pemerintah terkesan tak memiliki keperpihakan untuk melindungi dan menjaga eksistensi dan keberlangsungan hidup nelayan kecil. Terutama pada kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang di bawah ukuran 30 GT. Pada pasal 2 angka (4) dan lampiran PP yang baru ini sangat terang ada penarikan pra produksi dan pascaproduksi. Pertama, kapal penangkap ikan berukuran 5 GT sd 60 GT per tahun dikenakan tarif 5 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal. Kedua, kapal penangkap ikan berukuran di atas 60 GT sampai 1.000 GT per tahun dikenakan tarif 10 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal. Ketiga, kapal penangkap ikan berukuran di atas 1.000 GT per tahun dikenakan tarif 25 persen x produkvitas kapal x HPI x GT kapal. Ketentuan pra produksi di atas juga diikuti dengan penarikan pasca produksi berikut ini: Pertama, kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 60 GT per kg dikenakan tarif 5 persen x nilai produksi ikan pada saat didaratkan. Kedua, kapal penangkap ikan berukuran di atas 60 GT per kg dikenakan tarif 10 persen x nilai produksi ikan pada saat didaratkan. Terpisah, Area Manager Communication, Relations & CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Deden Mochamad Idhani menjelaskan, saat ini Pertamina sedang mengoptimalkan seluruh penyaluran BBM di SPBU karena adanya peningkatan permintaan. Terkait kebutuhan nelayan, Pertamina merekomendasikan kelompok nelayan untuk menyampaikan aspirasi atau kebutuhan melalui dinas terkait (perikanan atau muspida setempat) untuk selanjutnya dilakukan koordinasi oleh tim Pertamina di lapangan. Pertamina Patra Niaga terus memastikan stok maupun proses penyaluran (supply chain) aman berjalan dengan baik. Selain penambahan penyaluran, Pertamina juga memastikan kecukupan dan distribusi solar subsidi, mengoptimalkan produksi kilang, serta melakukan monitoring penyaluran agar tepat sasaran antara lain dengan sistem digitalisasi dan pemantauan secara real time melalui Pertamina Integrated Command Centre (PICC). Dalam proses penyalurannya-pun, Pertamina Patra Niaga juga mematuhi regulasi dan ketetapan pemerintah yang berlaku. ”Saat ini Pertamina Patra Niaga terus melakukan penghitungan proyeksi kebutuhan solar subsidi dan memastikan suplai yang kami lakukan dapat memenuhi peningkatan demand yang terjadi,” tambah Deden. Selain berkoordinasi dengan pihak terkait, Deden mengatakan, bahwa Pertamina Patra Niaga berkomitmen untuk menyalurkan Solar Subsidi dengan tepat sasaran sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) 191/2014. Menurutnya, jika lembaga penyalur atau SPBU terindikasi dan terbukti terjadi penyelewengan Pertamina tidak segan memberikan sanksi tegas. “Hingga Oktober, terdapat 6 SPBU yang berada di regional Jatimbalinus telah diberikan sanksi berupa penghentian suplai atau penutupan sementara, maupun sanksi seperti penggantian selisih harga jual Solar Subsidi akibat melakukan penyaluran yang tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku. Penyelewengan yang dilakukan misalkan adalah traksaksi yang tidak wajar, pengisian jeriken tanpa surat rekomendasi, dan pengisian ke kendaraan modifikasi,” terang Deden. (day/fer)
Sumber: