Ratu Adil
Oleh: Dahlan Iskan Dua ancaman, dua hiburan. Itulah yang dilakukan Presiden Donald Trump seminggu terakhir. Hiburan pertama: ia begitu bangga mendapat julukan baru. Dari sebagian pengikutnya: Jesus yang datang kembali ke bumi. Kalau orang Jawa bilang, lahirnya ratu adil. Trump dinilai begitu banyak memberi berkah ke Amerika. Gelar itu diberikan oleh sebagian kelompok Yahudi. Alasannya macam-macam. Trumplah yang berani memindahkan kedutaan Amerika di Israel. Dari Tel Aviv ke Jerusalem. Alasan lainnya: Trump berani menantang dua anggota Kongres yang masih baru ini: Rashida Tlaib dan Ilhan Omar. Trump terus menstigma keduanya sebagai anti Yahudi. Mereka adalah orang Islam pertama yang menjadi anggota DPR Amerika. Begitu provokatifnya Trump. Sampai pengikutnya begitu benci pada keduanya. Sebagian sampai mengancam membunuhnya. Atau mengusir mereka ke negara asal-usul orang tua mereka. Bahkan Trump sampai menekan pimpinan Israel. Agar jangan memberi izin kunjungan kepada Rashida. Yang ingin menengok keluarganya di Palestina. Rashida sendiri lahir di Michigan. Tapi bapak-ibunya memang pengungsi Palestina. Di pidato-pidatonya, di Twitter-nya, Trump selalu membanggakan gelar barunya itu. Bayangkan Jesus sudah kembali lagi ke bumi. Hiburannya: menurut hasil survei 75 persen orang Yahudi Amerika memilih calon dari partai Demokrat. Sejak zaman dulu. Satunya lagi tidak kalah konyol. Trump diingatkan agar tidak perlu ke Dayton di Ohio. Juga jangan ke El Paso di Texas. Tidak perlu menunjukkan rasa simpati pada korban penembakan massal di dua kota itu. Kata yang mengingatkan: rakyat di sana lagi marah padanya. Pembunuhan masal itu dinilai akibat sikap Trump yang provokatif dan rasialis. Trump ngotot ke sana. Ia hanya setuju menghindari pertemuan umum di dua kota itu. Ia memilih ke rumah sakit, tempat korban luka dirawat. Keluar dari rumah sakit Trump pun seperti menepuk dada. Katanya: sambutan di dua kota itu ternyata sangat positif. Tidak seperti yang digambarkan media. “Sampai dokter yang lagi operasi keluar ruang untuk menyambutnya. Dan mengucapkan salut padanya”. Begitulah inti dari tweet yang ia luncurkan. Hiburannya: pimpinan dua rumah sakit itu lantas sibuk klarifikasi. Secara terbuka pula. ‘Tidak benar ada dokter yang sampai keluar ruang operasi untuk menyambut siapa pun’. Tapi Trump tidak peduli dengan klarifikasi itu. Ia ngotot bahwa dokter-dokter di sana pada keluar ruang operasi untuk mengelukannya. Trump tampaknya ingin menerapkan ajaran ini: kebohongan yang terus menerus diopinikan akan menjadi kebenaran. Lalu tentang ancaman-ancamannya. Ancaman pertama diberikan untuk wanita hamil. Yang selama ini sengaja ke Amerika diam-diam. Sambil menyembunyikan kehamilannya. Mereka itu ingin memanfaatkan kebijakan lama Amerika: barang siapa yang lahir di Amerika otomatis menjadi warga negara Amerika. Kecuali yang bersangkutan tidak mau. Tidak hanya mereka. Para pendatang ilegal pun dapat berkah kebijakan itu. Begitu punya anak, bayinya itu resmi menjadi warga negara. Orang tua ilegal pun bisa punya anak legal. Kebijakan itulah yang akan dibatalkan Trump. “Tidak ada negara di dunia ini yang punya kebijakan seperti itu,” kata Trump. Dengan pastinya. Hiburannya: Trump seperti sengaja tidak peduli bahwa sebagian kata-katanya itu salah. Amerika bukanlah satu-satunya negara seperti itu. Ada lebih 30 negara yang punya aturan serupa. Trump tidak peduli kebenaran itu. Ia akan tetap mengubahnya. Itu kebijakan gila, katanya. Bahkan ia bertekad mencabut kebijakan lama itu hanya dengan dekret presiden. Belum ada gambaran kapan dekret itu dikeluarkan. Ancaman lainnya adalah biasa: untuk Tiongkok. Hanya kali ini tidak ada unsur hiburannya: Tiongkok membalas. Tiongkok sudah menyatakan menaikkan bea masuk barang Amerika. Sebagai balasan setimpal atas sanksi terakhir Amerika. Kali ini kita yang terkena serpihan peluru perang itu. Pabrik tekstil terbesar di Indonesia lagi terluka: Grup Duniatex, di Solo. Beritanya pun sampai ke mana-mana: perusahaan itu tidak kuat lagi membayar bunga pinjaman bank. Industri tekstil Indonesia tidak ikut perang tapi ikut menderita. Memang, tidak semua laki-laki seperti Trump.(*)
Sumber: