Cinta di Simpang Keimanan (2-habis)
Tak Bisa Doakan Anak
Hingga ketiga anak mereka duduk di bangku sekolah dasar (SD), Anton belum terbuka. Dua lelaki kembar kelas empat dan seorang perempuan kelas satu. “Sampai suatu saat anakku yang laki-laki mengaku setiap Minggu selalu diajak ayahnya ke gereja,” kata Ara, yang menambahkan bahwa kebetulan setiap Minggu pagi dia dan anak perempuannya menghadiri majelis taklim di masjid dekat rumah. Rupanya kesempatan tersebut dimanfaatkan Anton untuk mengajak anak laki-laki kembarnya ke gereja. “Waktu itu majelis taklim libur. Ustaznya sakit. Makanya saya ajak Mas Anton dan anak-anak piknik ke Pacet. Nah, saat itulah anak-anak (yang laki-laki, red) mengaku akan ke gereja bersama ayahnya,” kata Ara. Anton tidak bisa lagi mengelak. Dia hanya diam ketika kebohongannya terbongkar secara tidak sengaja. Anton hanya bisa minta maaf. Bahkan lantaran telanjur malu, dia lantas berterus terang bahwa selama ini juga sering mengajak anak-anak aktif dalam pelayanan. Keesokan harinya Anton mengajak Ara membuat kesepakatan: biarlah anak laki-lakinya ikut keyakinan dia, sedangkan yang perempuan ikut keyakinan Ara. Belum sempat kesepakatan tersebut disetujui, terjadi musibah. Satu dari dua anak kembarnya meninggal dan dimakamkan secara Nasrani. “Hati saya terluka dan berdarah melihat jasadnya dibaringkan di peti jenazah. Ia dirias seperti hendak menghadiri kondangan,” kata Ara. Suasana berkabung menyebabkan Ara melupakan kesepakatan yang diajukan Anton. Hingga berhari-hari, hingga berminggu-minggu. Kesedihan Ara seolah tak berkesudahan. Pada taklim selanjutnya, Ara sempat berkonsultasi dengan Ustaz Azis tentang kematian anaknya. “Apakah saya bisa mendoakan anak saya Ustaz?” tanyanya waktu itu. Ustaz menjelaskan bahwa doa orang Islam tidak bisa mendoakan orang-orang non-Islam selain memintakan hidayah. “Tapi karena putra Bu Ara belum beraqil baliq, insya Allah dia belum berdosa,” kata Ustaz, yang sedikit-banyak menghibur. Namun di sisi lain, Ara semakin gelisah karena diingatkan bahwa perkawinannya dengan Anton tidak sah lantaran Anton sudah murtad dari Islam. “Sampai di rumah, saya kembali minta Mas Anton pilih mau mempertahankan perkawinan kami atau tidak,” kata Ara. Namun pilihan itu disertai syarat, Anton haruns memperbaui ke-Islam-annya. Bila tidak, Ara minta maaf karena terpaksa harus memilih hidup terpisah. Dia juga akan berjuang agar anak-anak berada di dalam asuhannya. Sebab, mereka masih kecil dan lebih butuh didampingi ibunya ketimbang sang ayah. Anton tidak setuju. Dia menyarankan Ara menuruti ajakannya dulu: biar anak mereka yang laki ikut keyakinannya, sedangkan yang perempuan ikut keyakinan Ara. “Saya tidak sepakat. Ini urusan fatal. Saya tidak mau mengorbankan kayakinan hanya demi cinta. Saya juga tidak rela akan laki-laki kami mengikuti ayahnya. Lebih baik kami cerai,” kata Ara, tegas. (jos, habis)Sumber: