Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (7)

Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (7)

Mereka yang berlari dari medan mempunyai alasan yang berbeda dengan rekan-rekannya yang bergabung di sayap lain. Kelompok ini bukan berasal dari satuan yang sejak awal dipimpin oleh Ki Wisanggeni. Mereka bergabung dalam pasukan besar Ki Sentot dengan keyakinan dan alasan yang berbeda. “Jangan kejar mereka! Simpan tenaga kalian!” perintah Gumilang pada pasukannya yang hendak mengejar para pelarian dari prajurit Ki Wisanggeni. Pasukan berkuda yang dipimpin oleh Gumilang telah mendesak pasukan berkuda yang bertempur tanpa pemimpin. Lingkar pertarungan Ken Banawa dan Ki Sentot Tohjaya semakin mencekam. Tidak ada seorang pun dengan kepala tegak yang dapat melihat keduanya berkelahi. Setiap orang yang berada diseputar mereka telah menghentikan perkelahian. Mereka hanya berdiri memandang dan menjaga agar tidak ada orang ketiga yang memasuki gelanggang. Seperti tidak ada rasa permusuhan di antara mereka, pasukan yang seharusnya saling berhadapan itu kini berdiri berdampingan. Amarah, keinginan untuk membunuh, keinginan untuk meraih satu kejayaan yang ada dalam diri setiap prajurit itu seolah lebur ketika mereka tahu bahwa dua orang yang pernah tumbuh bersama itu sedang bertarung untuk sebuah nilai yang mereka yakini kebenarannya. Gumilang yang melihat pertarungan itu dari tempat yang sedikit agak jauh dapat menilai bahwa Ki Rangga Ken Banawa masih berada satu lapis di atas Ki Sentot. Saat itu Gumilang memberi perintah prajuritnya agar memperhatikan para prajurit Ki Wisanggeni yang tertawan dan luka-luka. “Kumpulkan mereka di sini dan rawat yang terluka,” perintah Gumilang pada pasukannya. Sambi menatap sejumlah orang yang duduk di hadapannya, katanya, ”Aku tidak ingin kalian melakukan percobaan untuk melarikan diri. Menyerah itu bukanlah perbuatan yang hina, tetapi dengan menyerah, kalian dapat menunjukkan bahwa kehidupan sepatutnya dijaga.”

Baca Juga :

Para prajurit yang menyerah lantas menganggukkan kepala. Seorang senapati mereka berdiri kemudian berbicara pada yang lain sambil menunjuk Gumilang, ”Kawan-kawan, mungkin ada benarnya kita ikuti kata-kata senapati muda itu.” Kemudian ia menurunkan senjatanya dan berkata lagi, ”Aku sadar menyerah adalah keputusan yang sulit karena lebih mudah bagi kita untuk melawan kekerasan dengan kekerasan. Tetapi menyerahkan senjata adalah pilihanku saat ini.” Beberapa kawannya mengikuti perbuatan senapati pasukan Ki Wisanggeni yang menurunkan senjata, meskipun terjadi gejolak perlawanan untuk sesaat namun prajurit-prajurit Gumilang dapat meredamnya dengan sangat baik. Karena itu, keberhasilan Gumilang akhirnya menjadikan sayap utara pertempuran menjadi sedikit lebih tenang. Lalu ia memberi aba-aba untuk melintas dari sayap utara ke selatan untuk memukul pasukan Ki Sentot yang berada di garis pertahanan. Yang terjadi kemudian adalah pasukan Ki Sentot menjadi kalang kabut dengan serangan mendadak pasukan berkuda yang dipimpin Gumilang. Pada saat itu, dua kelompok kecil pasukan khusus Majapahit berhasil membuka jalan dan memisahkan barisan pasukan Ki Sentot. Dengan begitu kekacauan besar melanda pasukan Ki Sentot. Setapak demi setapak pasukan Ki Sentot berhasil diceraiberaikan dan akibatnya adalah perlawanan mereka semakin lemah. Beberapa pertempuran kecil masih terjadi namun prajurit Majapahit, yang dibantu para pengawal kademangan, telah menguasai keadaan dan berhasil memadamkan api pertempuran. “Ki Sentot, kau dapat melihat kekacauan yang terjadi dalam induk pasukanmu,” berkata Ken Banawa setelah mendapat laporan dari petugas penghubung. “Aku tidak peduli, Ki Rangga,” sahut Ki Sentot. ”Mereka telah memperjuangkan tujuan mereka melalui cara yang terhormat. Kekalahan bukanlah satu hal yang tabu untuk kami hindari.” Ken Banawa menggoyangkan kepala, kemudian memiringkan tubuh condong ke samping, menghindari kejaran tombak Ki Sentot yang berusaha menyentuh lambungnya. Tombak Ki Sentot menggelepar kuat dan sanggup menggetarkan persendian Ken Banawa setiap kali senjata mereka berbenturan. Dua senapati tangguh dan kenyang pengalaman tempur kini saling melepaskan ancaman maut untuk mempertahankan hidup. Mereka berkelahi mati-matian. Dengan bertumpu pada kaki kirinya, Ken Banawa memutar tubuh dengan kecepatan tinggi dan tiba-tiba tumit kanannya melesat menyilang dari bawah ke atas menyentuh kening Ki Sentot. Ki Sentot tidak bersiap dengan serangan yang tidak terduga itu lalu terguling roboh. Namun saat ia bangkit berdiri, Ken Banawa telah menyentuh lehernya dengan ujung pedangnya. “Perintahkan pasukanmu untuk menyerah, Ki Sentot,” Ken Banawa mencoba mengulang permintaannya. “Tidak mungkin aku lakukan itu, Ki Rangga,” kata Ki Sentot lalu ia berdiri perlahan dengan tombak yang masih tergenggam. Kemudian ia menatap tajam wajah Ken Banawa dan berkata, ”Kau adalah seorang yang jantan dan tidak membunuh lawan yang tidak bersenjata.” Lalu Ki Sentot melemparkan tombaknya dan berjalan meninggalkan Ken Banawa di belakang punggungnya. “Aku perintahkan kau untuk berhenti, Ki Sentot!” lantang Ken Banawa berkata. Ki Sentot berhenti sesaat. Ia seperti merenung ketika wajahnya melihat tanah yang dipijaknya. Tiba-tiba ia berseru nyaring, ”Aku perintahkan kalian untuk menyerah pada pasukan Majapahit.” Perintah Ki Sentot yang diucapkan dengan lambaran tenaga inti mengumandang di atas udara medan perang. Sejumlah prajurit-prajuritnya menyambut dengan kebingungan, namun mereka melihat rekan-rekannya melemparkan senjata. Beberapa prajurit yang masih memegang senjata kemudian berkumpul dalam satu barisan yang berbeda dengan rekan-rekannya yang menyerah. “Kami menolak, Ki Sentot,” kata seorang perwira yang berlari menuju ke tempat Ki Sentot berdiri. “Maka lanjutkan keinginanmu itu,” berkata Ki Sentot lalu mengambil sebatang pedang seorang prajuritnya yang berdiri di dekatnya. Lalu tiba-tiba ia berbalik arah dan menerjang Ken Banawa dengan satu serangan hebat. Kepulan tipis keluar dari batang pedang dan menyerang Ken Banawa yang telah merendahkan tubuhnya. Lambaran tenaga inti yang telah mengaliri pedang Ken Banawa memancarkan hawa panas,  ia menyongsong Ki Sentot dengan kekuatan puncak. Ledakan hebat terdengar dan menggetarkan tanah sekeliling mereka. Sejumlah orang pun roboh karena tidak dapat menahan gelombang dahsyat yang menghantam dada mereka. Dalam waktu yang bersamaan, tubuh Ki Sentot terhenti dan kakinya terbenam sampai batas mata kaki. Kekuatan raksasa yang muncul dari pedang Ken Banawa telah membuyarkan kepulan asap tipis yang panasnya sanggup membuat besi menjadi merah. Ki Sentot tidak dapat menahan tenaga Ken Banawa dan dalam keadaan berdiri ia mengeluarkan segumpal darah kental. Ki Sentot merasakan tubuh bagian dalamnya telah remuk redam. Sekejap kemudian ia menancapkan pedang di dekat kakinya dan ia berdiri dengan bertelekan hulu pedang. “Sangat disayangkan,” kata lirih terucap dari bibir Ken Banawa saat menghampiri tubuh Ki Sentot yang terlentang. Pengikut setia Jayakatwang itu mati. Pertempuran lain di medan perang itu mulai susut. Meski masih ada beberapa perlawanan terutama dari kelompok prajurit yang tidak mau menyerah, namun pasukan Ken Banawa telah sepenuhnya menguasai keadaan. Berita kematian Ki Sentot yang telah tersebar di seluruh medan akhirnya meluluhkan semangat prajurit yang tidak rela menyerah. “Ki Sentot telah tiada. Andaikata aku dapat memenangkan perang ini, namun itu tidak akan mempunyai arti lagi bagiku dan seluruh orang yang mendukung perjuangan Ki Sentot,” kata perwira yang membangkang perintah Ki Sentot. Hingga kemuIan di seluruh medan perang itu sudah tidak ada perkelahian yang terjadi kecuali perang tanding Bondan yang masih berusaha keras menundukkan Ki Cendhala Geni. Para prajurit Majapahit dan pengawal Kademangan Sumur Welut mulai mencari kawan-kawan mereka yang terluka dan yang meninggal dunia. Di bawah cahaya matahari sore, mereka juga memberi bantuan pengobatan pada prajurit Ki Sentot. Tiba-tiba mereka melihat debu mengepul tinggi dan derap kuda yang dipacu sangat cepat oleh serombongan orang yang berseragam. Ki Rangga Ken Banawa segera berdiri paling depan untuk menyambut kedatangan pasukan berkuda yang belum terlihat jelas bentuk seragam mereka. Sebaris senyum terlihat di bibir Ken Banawa ketika ia telah melihat seragam dan bendera serta umbul-umbul yang berkibar-kibar dari pasukan berkuda itu. “Gajah Mada,” lirih Ken Banawa berkata. Seorang prajurit yang mendengarnya kemuIan meneriakkan nama Gajah Mada dan tempat asal pasukan berkuda itu datang. Serentak gemuruh suara nyaring memenuhi angkasa di atas padang rumput di lembah perbukitan. “Ki Rangga.” Gajah Mada membungkuk hormat pada Ken Banawa setelah melompat turun dari kuda. “Mereka telah menyerah,” kata Ken Banawa sambil menunjuk tempat para tawanan dikumpulkan.  Gajah Mada berjalan beriringan dengan Ken Banawa untuk melihat keadaan para tawanan. Sedangkan pasukan berkuda yang datang dari Jenggala segera bergabung dengan para prajurit yang merawat mereka yang terluka. Gajah Mada kemudian menoleh pada sebuah lingkaran perkelahian yang sangat luas. Keadaan itu menarik perhatiannya karena hanya di dalam lingkaran itu saja yang masih meneruskan pertempuran pada saat bagian lain telah selesai. “Siapakah yang melakukan perang tanding itu, Ki Rangga?” bertanya Gajah Mada dengan sedikit memicingkan mata untuk dapat melihat sosok yang berkelebatan sangat cepat dan terkurung oleh debu yang tebal. “Bondan sedang bertarung dengan Ki Cendhala Geni,” jawab Ken Banawa, kemudian berjalan melihat pertarungan itu lebih dekat. Gajah Mada mengikutinya dari belakang seraya bergumam pelan,”Bondan.” Ken Banawa mendengarnya, kemudian berkata, ”Apakah kau mengingat sesuatu, Gajah Mada?” Gajah Mada menggeleng. Jawabnya, ”Tidak. Hanya saja aku tidak menyangka bila ia adalah orang terakhir yang berkelahi pada hari ini.” “Ia adalah orang pertama yang bertempur pada hari ini,”  berkata Ken Banawa, ” ia dan lawannya sama sekali tidak terlibat dalam kekacauan yang terjadi di segala medan.” Dahi Gajah Mada berkerut. Ia berpaling pada Ken Banawa dan bertanya kemudian, ”Apakah itu berarti mereka telah bertarung sejak pagi?” Ken Banawa mengangguk. Lalu keduanya berhenti dan menyaksikan perkelahian dari jarak yang cukup jauh. Gajah Mada seolah tak percaya dengan perkelahian yang terjadi didepannya. Berulang kali ia menggelengkan kepala, sekali-kali ia mengelus keningnya. Menurut Gajah Mada, perkelahian itu telah melebihi tingkat orang-orang yang pernah dijumpainya terlibat perang tanding. Tanah yang menjadi alas pertempuran Bondan dan Ki Cendhala Geni terlihat banyak berlubang memanjang, ada yang sebagian berbentuk lingkaran dan berlubang sedalam lutut. Pohon yang tumbang dan dedaunan yang mengering di sekitar lingkar perkelahian, agaknya telah cukup memberi gambaran bagi Gajah Mada betapa dahsyat kekuatan dua orang yang dibanggakan oleh masing-masing kubu. “Andaikata Bondan bersedia bergabung dalam keprajuritan Majapahit,” kata pelan Gajah Mada pada Ken Banawa. Ken Banawa mengangguk lalu menyahut, ”Tetapi ia seringkali mengatakan tidak ingin menjadi prajurit.” “Ketinggian ilmu ditambah ketajaman pikir yang hebat akhirnya dapat membuat Bondan sanggup menahan Ki Cendhala Geni sedemikian lamanya,” Gajah Mada memuji Bondan. Ken Banawa mengiyakan dengan anggukkan kepala. Gaung kapak Ki Cendhala Geni semakin menghebat namun kecepatan geraknya berubah menjadi lambat. Gaung kapak yang mengandung tenaga inti dirasakan Bondan seperti sebuah batu yang menghimpit dadanya. Selain itu pendengaran Bondan mulai terganggu dengan gema gaung yang seperti tusukan belati di bagian dalam telinganya. Ketika perhatian Bondan sedikit teralih karena ia merasa harus meningkatkan daya tahannya, sebuah hantaman dari siku Ki Cendhala Geni dengan telak mengenai bagian rahangnya. Walaupun ia tidak sampai terjatuh namun Bondan terhuyung-huyung ke belakang. Ia masih sanggup bergerak menghindar dengan cepat saat Ki Cendhala Geni mencoba memburunya. Gaung kapak itu semakin menjadi-jadi dan kerap menyakitinya. Denging suara yang melengking tinggi pada bagian dalam telinganya serasa meledakkan kepala Bondan. Namun Bondan tidak mau menyerah dengan keadaan seperti itu. Ia meningkatkan lagi daya tahannya bersamaan dengan darah yang mulai menitik keluar dari telinganya. Pada saat itu pendengaran Bondan telah berkurang kemampuannya untuk menangkap getar suara sekitarnya. “Aku tidak dapat menghindarinya lagi,” hati Bondan berkata. Satu loncatan panjang, dalam keadaan melayang, ia mengalihkan segala kemampuannya pada pendengaran. Dengan cepat ia menutup dua matanya dengan ikat kepala. Ilmu yang didapatnya dari Mpu Gandamanik segera diterapkan untuk keluar dari tekanan yang dilakukan Ki Cendhala Geni.

Baca Juga :

(bersambung)        

Sumber: