Kulihat Samar Sepasang Insan Berpagut dengan Beringas
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sikap dan tingkah Rini yang berbeda dari purel-purel lain menjadikan perhatian Hery terfokus kepada dia. Hery berpikir: mana mungkin perempuan seperti ini bisa berada di tempat beginian? Inilah kelanjutan kisah Hery, yang disajikan dengan gaya bertutur. Sungguh, bagiku sangat tidak masuk akal Rini sampai berkubang di kehidupan malam yang kotor dan menjijikkan seperti ini. Pasti ada sesuatu yang salah. “Bapak tidak biasa ke diskotek ya?” tiba-tiba suara Rini yang lembut terdengar di telinga kiriku. Terselip di sela dentuman musik ajeb-ajeb dan hingar bingar para pengunjung. “Bisa kita bicara berdua di tempat yang agak sepi?” aku membalas berbisik di telinga Rini. Dia mengangguk, bercakap-cakap sebentar dengan Angel, kemudian memberi isyarat kepadaku untuk berjalan mengikutinya. Kami membelah gelombang manusia yang bergerak bagai ombak, mengikuti irama musik yang terdengar seolah-olah keluar dari pori-pori tubuh mereka. Ya, mereka sudah amat menyatu dengan musik yang mereka dengarkan. Di salah satu sudut gelap kulihat samar sepasang insan sedang berpagut dengan beringas, seolah tidak ada orang lain di sekitarnya. Cuek bebek. Loe-loe; gue-gue. Aku hanya bisa geleng-geleng sejenak, lantas kembali mengikuti langkah Rini. Kami menemui bapak yang tadi memperkenalkan kami di sebuah lorong. Rini saling berbisik dengannya, kemudian kembali memberi isyarat untuk mengikuti dia. Ternyata kami diarahkan dan diminta masuk sebuah ruangan. “VIP,” bisik Rini. Aku mengangguk. “Silakan bersenang-senang di dalam. Kalau ada perlu apa-apa, panggil kami,” kata bapak tadi. Hanya berdua di dalam, aku dan Rini, jujur saja, aku tidak tahu apa yang akan aku katakan dan lakukan. Semua pertanyaan yang tadi sudah kususun berbaris rapi di ubun-ubun mendadak sirna. Otakku serasa kosong. Blank. Entah berapa lama aku bersikap seperti tulup dikethek, maaf, kethek ditulup, tiba-tiba kudengar Rini menyebut namaku berulang-ulang. “Pak Hery… Pak Hery… Maaf… Pak Hery…” “Ya… ya… ya,” aku gelagapan. Seperti baru bangun dari tidur. “Pak Hery mau minum apa?” tanya Rini. Di samping meja ruangan itu berdiri seorang gadis cantik dengan senyum di bibir. Seperti menunggu. Akhirnya kami memesan air putih dan beberapa camilan. Rini menyodorkan mike dan mempersilakanku memilih lagu, tapi aku tepis. “Matikan saja sound system-nya. Atau kecilkan volumenya,” kataku. “Benar ya Pak Hery tidak terbiasa ke tempat seperti ini?” tanya Rini. “Sama sekali tidak pernah. Sebenarnya aku yang ingin bertanya, karena kurasakan Mbak Rini sama sekali tidak menikmati kehidupan di sini. Mengapa bisa sampai ke sini?” Tiba-tiba kulihat awan hitam kulihat berkelebat di wajah cantik Rini. “Pak Hery bertanya serius?” Sambil bertanya demikian, kulihat Rini menata cara duduknya. Rini yang sedari tadi duduk menjauh dariku berpindah ke posisi yang lebih jauh. “Ceritanya panjang. Bisa menghabiskan waktu kita nanti,” kata Rini. “Nggak apa-apa. Sampai menjelang Subuh pun akan aku dengar.” “Aku sebenarnya tidak ingin berada di tempat ini. Sangat tidak ingin. Semua yang ada di tempat ini mengingatkanku pada peristiwa beberapa belas tahun lalu,” kata Rini mengawali kisahnya. “Aku adalah korban kejahatan lelaki. Tidak hanya aku, tapi juga ibuku. Sejak lahir, nasib sepertinya tidak berpihak kepadaku,” tutur Rini sambil menoleh ke dinding dan mengusap wajahnya dengan tisu yang diambil dari meja. (bersambung)
Sumber: