Langit Hitam Majapahit – Pertempuran Hari Kedua (2)
Ki Cendhala Geni sendiri adalah orang yang pada awalnya tidak ingin menentang Majapahit. Lambat laun ia mengalami pergeseran pendapat, terlebih sejak ia mendengar kabar bahwa ada sekelompok orang yang akan menentang Majapahit. Setelah ia bertemu dengan seorang pengikut Ki Sentot dalam pelariannya di lereng-lereng Merapi, maka ia mulai berani dan sedikit banyak telah menanamkan ketakutan pada rakyat yang menganggap Majapahit sebagai penerus Rakai Sanjaya dan Mpu Sindok. Di setiap tempat setelah ia membuat keonaran, Ki Cendhala Geni berbicara tentang berbagai persoalan. Ia mulai memengaruhi banyak orang dengan menyebar kabar bahwa raja dan pembantunya menyeleweng serta para pembesar yang melakukan pencurian. Ki Cendhala Geni pula meleburkan diri pada kelompok-kelompok pinggiran dan melalui mereka, gaung bahwasanya penetapan pajak yang tinggi adalah bentuk lain dari penindasan. “Berjayalah wangsa Jayakatwang!” pekik Ki Cendhala Geni. "Akhirnya!" Bondan berseru. "Akhirnya engkau benar-benar melepaskan pakaian. Biarpun aku mati dalam perkelahian ini, aku tidak merasa sendiri. Kiai, bahkan engkau telah mati sebelumnya. Tidak ada yang melarangmu untuk pergi seorang diri ke tanah kubur. Tetapi, ketika engkau memandang wajahku, aku dapat pastikan bahwa aku akan memberimu hukuman!" Bondan melipatgandakan serangan. Pertarungan kian menghebat. Setiap gerakan tangan maupun kaki selalu disertai angin yang menimbulkan hembus tenaga yang mampu mengguncang kedudukan prajurit biasa. Sementara Bondan tenggelam dalam pertarungan hidup mati melawan Ki Cendhala Geni, Ki Wisanggeni memberi perintah pada prajurit berkuda untuk menerjang barisan prajurit Sumur Welut. Dalam sekejap, ratusan anak panah meluncur cepat di udara sehingga terlihat bagaikan mendung yang berarak cepat. Matahari terhalang memandang. Tanduk kerbau kembali menggaung, kali ini berasal dari pasukan yang dipimpin oleh Gumilang Prakoso. Dua pasukan berkuda saling menerjang dengan dahsyat. Hentak kaki-kaki kuda menerbangkan debu dan rumput-rumput tercabut oleh derap yang memukul berulang-ulang. Di belakang dua pasukan itu, ribuan orang berlari menyerbu barisan lawan masing-masing. Gumilang yang mengetahui Ki Wisanggeni adalah ayah dari seorang perwiranya, berusaha mencegah pertempuran antara ayah dan anak itu terjadi. Ia segera mencari Ki Wisanggeni di tengah kerumunan perkelahian pasukan berkuda yang saling menyambar seperti elang laut berebut mangsa. Pandang mata Gumilang berhenti ketika melihat Lembu Daksa ternyata telah terlibat baku serang melawan ayahnya, Ki Wisanggeni. Jantung Gumilang berdegup kencang. Ia merasa seperti tak sanggup melanjutkan pertempuran saat terbayang di pelupuk matanya bahwa akan ada satu yang mati di antara mereka berdua. Ayah atau anak? “Kemungkinan itu dapat saja terjadi sebentar lagi. Aku harus melepaskan tanggung jawab sebagai senapati pasukan berkuda. Lembu Daksa harus dapat menggantikanku sementara aku yang menghadapi ayahnya,” desis Gumilang dalam hatinya. Pedang tipis Gumilang segera berputar lalu menghentak kuda ke tempat Lembu Daksa berkelahi. “Lembu Daksa, segeralah beralih ke induk pasukan. Biarkan aku mengambil lawanmu,” berkata Gumilang seraya menggetarkan pedang ke prajurit lawan. Lembu Daksa tanpa berpaling ke arah suara berkata, ”Tidak mungkin bagiku meninggalkan lawan yang masih berbahaya.” “Lihat sekitarmu! Bukankah itu berarti engkau bertempur melawan ayahmu?” “Inilah sikap ksatria, Senapati. Aku bertarung untuk kemuliaan Sri Jayanegara dan rakyat Majapahit!” seru Lembu Daksa sambil menghantamkan ujung tombak pada perisai senapati pengapit yang mengeroyoknya. Jantung Gumilang bergetar sangat keras. Ia ingin mengatakan sesuatu tetapi Lembu Daksa sepertinya tidak memberI kesempatan padanya. Gumilang keras kemauan, oleh karenanya, ia melompat ke tengah lingkaran sambil menghadap[ Ki Wisanggeni. Kemudian Gumilang berkata, “Salah seorang dari Anda akan terbunuh atau terluka, sementara Anda berdua adalah ayah dan anak. Dan saya berada di sini, di tengah perkelahian Ki Sanak berdua agar tidak ada seorang pun yang mendapatkan nasib buruk.” “Senapati!” bentak Ki Wisanggeni. “Apakah engkau sudah gila? Aku tidak melihat usiamu, tetapi kita sedang berperang. Kita adalah orang-orang yang saling bermusuhan. Jadilah seorang prajurit yang berbeda dengan Jayanegara.”
Baca Juga
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Bab 10 : Malam Penumpasan
Bab 11 : Bulak Banteng
Bab 12 : Persiapan
Bab 13 : Rencana Lain
Bab 14 : Pertempuran Hari Pertama
Bab 15 : Pertempuran Hari Kedua
Baca Juga
Bab 1 Menuju Kotaraja
Bab 2 : Matahari Majapahit
Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Bab 4 : Gunung Semar
Bab 5 : Tiga Orang
Bab 6 : Wringin Anom
Bab 7 : Pemberontakan Senyap
Bab 8 : Siasat Gajah Mada
Bab 9 : Rawa - Rawa
Bab 10 : Malam Penumpasan
Bab 11 : Bulak Banteng
Bab 12 : Persiapan
Bab 13 : Rencana Lain
Bab 14 : Pertempuran Hari Pertama
Bab 15 : Pertempuran Hari Kedua
Sumber: