Rezeki Anak Saleh (3)

Rezeki Anak Saleh (3)

Disuruh Pilih, Ibu atau Istri

Sesampai di rumah, Hendar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia berubah jadi pemurung dan pendiam. Berhari-hari. Tentu ini memicu Siti menanyakan alasan Hendar berubah begitu. Dengan berbagai pertimbangan Hendar akhirnya berterus terang. Menceritakan semua yang terjadi antara dirinya dengan sang ibu. Semua diceritakan. Lengkap. Tidak dikurangi, tidak ditambah. Siti yang sudah mengenal betul sikap mertuanya hanya diam. Tidak merepons sama sekali. Baru keesokan paginya Siti berkata kepada sang suami. “Sekarang terserah Mas Hendar. Pilih saya atau Ibu. Saya pasrah,” kata Hendar menirukan tanggapan Siti. “Tentu saja aku pilih kamu dan Ibu. Kalian tak terisahkan di hatiku,” tutur Hendar. “Baiklah. Aku mengerti arti pilihan itu. Kamu pasti dengan berat hati pilih Ibu. Aku paham,” ujar Siti. Lirih. “Aku tidak mau menjadi anak durhaka.” “Ya. Aku paham siapa Mas Hendar. Besok aku akan pulang ke orang tua di Gresik. Mas Hendar tunggu saja panggilan dari pengadilan agama (PA).” Semula Hendar mengira kalimat Siti tadi sebagai gertak sambal atas sikapnya yang kurang tegas. Ketika keesokan harinya tidak menemui sang istri di rumah dan hanya diberi pesan singkat WA, Hendar masih tenang. Pikirnya, Siti hanya minggat sesaat dan pasti kembali. Kalau sampai tiga hari belum pulang, dia berniat akan menjemputnya ke Gresik. Ternyata benar. Tiga hari Siti tidak pulang. Pada hari keempat, ketika hendak berangkat ke Gresik, Hendar malah menerima surat dari Ikin, pengacara Siti. Hendar diminta datang ke kantornya untuk membicarakan rencana Siti menggugat cerai Hendar. Tentu saja Hendar kaget dan bergegas ke kantor Ikin. “Begitulah garis besar ceritanya,” kata Hendar menerangkan latar belakang istrinya menggugat cerai. Ikin manggut-manggut, “Pak Hendar masih mencintai Bu Siti?” Kini giliran Hendar yang manggut-manggut. Bahkan lebih keras dan tegas. “Bersedia kalau saya usahakan agar Pak Hendar dan Bu Siti tidak usah cerai?” Kembali Hendar manggut-manggut, “Tapi mungkinkah?” “Saya usahakan.” “Dengan tidak mengecewakan Ibu? Dengan tidak mengecewakan Siti, istri?” Untuk membantu memecahkan persoalan Hendar, istri, dan orang tuanya, Ikin mengaku akan mengundang ketiganya. Berbicara bersama satu meja. “Ini belum kalian lakukan kan?” Mendengar ungkapan Ikin, Hendar terhenyak. Seolah-olah baru tersadarkan bahwa selama ini dia, Siti, dan sang ibu tidak pernah bersama-sama membahas masalah ini. Tapi, memang, apakah mungkin membahas masalah seperti ini bersama-sama. Hendar sadar siapa ibunya dan siapa Siti. Itu tidak mungkin terjadi. Mana mungkin ibu mertua minta menantunya rela dipoligami? (jos, bersambung)    

Sumber: