Rezeki Anak Saleh (2)

Rezeki Anak Saleh (2)

Dipaksa Cerai atau Poligami

Tidak hanya menanyakan kapan diberi cucu, Heni bahkan terang-terangan minta putra tunggalnya tersebut mengambil sikap tegas bila Siti benar-benar busung tidak bisa hamil. “Ceraikan dia atau kamu nikah lagi dengan wanita lain!” kata Heni sebagaimana ditirukan Hendar dengan terbata-bata. Hendar shock. Sama sekali tidak menyangka ibunya mengucapkan itu. Sebab, selama ini perempuan sepuh tersebut terlihat baik-baik saja dengan menantunya. Siti bahkan sering dibanggakan kepada para kerabat sebagai menantu cap jempol. “Menceraikan Siti?” protes Hendar. Ibunya diam dan memandang tajam mata anaknya. “Kalau kamu tidak tega untuk menceraikan dia, kamu harus nikah lagi dengan perempuan yang subur,” kata Heni. Tenang, tapi terdengar ada pemaksaan. Kini giliran Hendar yang terdiam. Sebab, kedua langkah tersebut tidak mungkin dia lakukan. Cintanya kepada Siti tidak akan mengizinkan hatinya melakukan itu. Apalagi mereka sudah berkomitmen untuk selalu bersatu apa pun yang terjadi. Dalam hati Hendar sangat tidak menyetujui saran ibunya. Di sisi lain, dia tidak punya keberanian untuk terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya kepada sang ibu. Sejak kecil Hendar memang dididik selalu patuh ke orang tua, terutama ibu. Akhirnya dia minta izin pulang untuk memikirkannya terlebih dulu. Setiba di rumah, bukannya tenang, pikiran Hendar tambah kacau ketika disambut senyum dan peluk cium mesra Siti. Hendar semakin yakin tidak bakal mampu meninggalkan Siti. Hari-hari berlalu, minggu-minggu berlalu, Hendar sudah melupakan saran ibunya. Ia bahkan tidak berpikir suatu saat bakal ditagih jawab oleh sang ibu. Semua berjalan adem ayem. Hal mengejutkan baru terjadi Januari lalu. Hendar kembali dipanggil ibunya dan diminta sowan. Pria muda ini sempat kaget, meski kemudian mafhum bahwa dia memang punya tanggungan kapada ibunya. Dengan hati ketar-ketir lulusan pondok pesantren di Jombang ini pun menemui Heni. Wajahnya tegang. Matanya tak berani beradu pandang. Di emperan tengah rumah yang terbuka tampak langit ibu-anak ini duduk bersama. “Bagaimana? Sudah siap memberikan jawaban kepada Ibu?” tanya Heni setelah berbincang pembuka yang santai dan sunyi. Hendar diam dan menunduk. Cukup lama. Lebih dari lima menit. Tampaknya Heni sengaja membiarkan kesempatan Hendar untuk menyusun kalimat terbaiknya. Namun hingga 10 menit berlalu, Hendar masih diam. “Baiklah. Ibu yakin kamu pasti tidak akan mampu menjawab,” kata Heni. Hendar mendongak, tapi masih diam. “Kamu percaya sama Ibu kan? Sekarang pulanglah. Bilang sama Siti kamu dipaksa Ibu nikah lagi dengan pilihan Ibu. Gitu aja,” imbuh Heni. Wajah Hendar membara tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti biasa, baginya kata ibu ibarat sabda panditaning ratu. Tidak bisa dibantah dan harus di-samikna wa atokna. “Salam Ibu untuk Siti,” kata Heni, ringan. (jos, bersambung)      

Sumber: