Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (10)

Langit Hitam Majapahit – Rawa-Rawa (10)

Patraman dengan cerdas membawa Gumilang bergeser lebih jauh dari Arum Sari. Rencananya adalah Arum Sari dapat dilarikan secepatnya oleh Laksa Jaya. Dalam waktu itu, seruan-seruan yang berasal dari pertarungan antar pengikut menunjukkan kedudukan yang berat sebelah. Sekilas pandang  Patraman menyapu lingkaran kecil di sebelahnya. “Baiklah, aku harus mengakhiri perkelahian ini secepatnya. Semakin cepat semakin baik. Aku di atas angin sekarang!” pikir Patraman. Ia masih belum menuntaskan perkelahian dengan sesama perwira Majapahit. Tiba-tiba. Terdengar keluhan pendek tertahan dan seseorang roboh bermandikan darah yang keluar dari batang lehernya. Sebatang keris yang berukiran pohon jati pada gagangnya telah menembus leher Laksa Jaya. Hati Patraman berdesir, sejenak rasa tidak percaya mengurungnya ketika melihat Laksa Jaya roboh tak berkutik. Namun itu tidak lama, deru angin yang berasal dari gerak pedang Gumilang menarik paksa dirinya. Tubuhnya merendahkan sedikit ke kiri agar lepas kejaran pedang Gumilang. Sewaktu ia bergerak surut, Patraman tidak mengingkari bahwa dirinya dicengkeram kegelisahan, pesan penting datang mengapung di atas kepalanya dengan sebuah kata: gagal! Sekilas diliriknya kedudukan Ki Cendhala Geni yang ternyata masih seimbang dengan Ken Banawa. Dan pandangannya juga melihat Ubandhana yang mulai keteteran melawan Bondan. Atas kedudukan terbaru yang dilihatnya,  Patraman pun merencanakan untuk melepaskan diri dari kejadian yang menemuinya sepanjang hari hingga malam ini.

Baca Juga :

Semasa Laksa Jaya beringsut mendekati Arum Sari, Bondan yang terlibat perkelahian seru dengan Ubandhana menangkap gerak dari ujung matanya. Di bawah ancaman ujung tombak musuh yang seperti memiliki mata, Bondan menjulurkan udengnya ke pergelangan tangan lawannya yang memegang tombak. Ubandhana menyadari meskipun itu bukan serangan yang berujung kematian tetapi tangannya bisa saja patah karena sentakan bertenaga dari Bondan. Untuk itu ia menarik serangannya dengan cepat, tetapi kesempatan sekejap itu dapat dimanfaatkan Bondan dengan lontaran keris ke arah Laksa Jaya. “Terlambat!” batin Ubandhana. Kesadaran yang tertinggal ketika ia memasuki perangkap lawannya. Walau ia cermat mengamati gerak tandang Bondan dan  berusaha menggagalkannya, tetapi Bondan bergerak lebih cepat. Tak lengah dengan perkembangan itu, Ubandhana sigap memutar tombaknya seperti baling-baling. Bondan telah bersiap menerima terjangan Ubandhana sekalipun kini hanya bersenjatakan ikat kepala. Walau demikian, Ubandhana tidak mengurangi kewaspadaannya karena ia mengetahui ketangkasan Bondan saat bersenjatakan udeng. Sekalipun secara mata lahiriah hanya selembar kain yang mungkin tak berarti, tetapi itulah yang menjadi kekuatan udeng sesungguhnya. Udeng Bondan menyambar, meliuk-liuk dan sesekali menyengat pergelangan tangan musuhnya, malah terkadang memburu dada dan kepala salah seorang yang pernah mengeroyoknya. Bondan memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan agar dapat segera menuntaskan perhitungan yang belum selesai dengan Ki Cendhala Geni. Ubandhana merasakan kekuatan serta kecepatan Bondan semakin meningkat dalam penyerangan. Pada saat itu Ubandhana masih percaya diri mampu mengimbangi lonjakan kekuatan Bondan. Keduanya semakin dalam terlibat perkelahian seiring dengan riuh sorai suara pengawal yang terikat dalam lingkaran-lingkaran di sekitar mereka. Beberapa kelompok kecil prajurit Majapahit telah melumpuhkan orang per orang dari pengiring Laksa Jaya. Di bawah satu perintah Ra Caksana, kini prajurit Majapahit mulai mendekatkan lingkaran pertarungan. Tak butuh waktu yang lama untuk prajurit Majapahit merapatkan lingkaran. Perubahan itu berlangsung cepat dan tanpa disadari oleh para pengawal Laksa Jaya. Tiba-tiba mereka terkepung! Hampir bersamaan waktu, Bondan melontarkan tendangan memutar ke leher musuhnya. Ubandhana beringsut ke kiri, lalu dengan loncatan rendah, ia mengarahkan tombak ke leher Bondan. Namun Bondan sigap merunduk kemudian menggulingkan tubuh mendekati Ubandhana. Dalam jarak yang tidak disangka-sangka itu, udeng Bondan mematuk urat nadi Ubandhana, dan demi menghindarkan hancurnya aliran darah maka serta merta Ubandhana melepaskan tombak dari tangan.

Baca Juga :

  Bondan menyusupkan tinju. Tubuh Ubandhana surut ke belakang beberapa langkah namun ia gagal mendapatkan keseimbangan sehingga tubuhnya terjerembab dan sepertinya akan jatuh tertelungkup. Kecepatan luar biasa Bondan yang susah dibayangkan menyongsong tubuh Ubandhana sebelum menyentuh tanah. Batok kepala Ubandhana menjadi terbuka dan maut berada di ujung rambut Ubandhana. Desing suara senjata mampu menggagalkan terkaman Bondan di saat terakhir. Sedikit tergesa-gesa Bondan menyurutkan tangannya dan selangkah bergeser ke belakang. Sebuah bayangan berkelebat cepat segera menjadi dinding penghalang serangan Bondan terhadap Ubandhana. “Ki Cendhala Geni!” desis Bondan perlahan. Sebuah kenangan merayap dalam jiwa Bondan. Perkelahian yang tidak seimbang antara ia melawan Ki Cendhala Geni dan Ubandhana di Kademangan Sumur Welut. Darah Bondan menggelegak, dan tanpa pikir panjang ia menerjang penolong Ubandhana dengan ikat kepala yang siap mematuk dari segala arah. Satu kejutan agaknya disiapkan oleh Ki Cendhala  Geni dengan menjulurkan tangan hendak menangkap ujung ikat kepala Bondan. Bondan terkesiap! Satu gerakan musuh yang sangat mengejutkan. Tetapi pengalaman telah mengajarinya, maka Bondan segera melepaskan kepalan kiri ke lambung lawannya sambil menarik surut udengnya. Ki Cendhala Geni bergeser ke belakang lalu sedikit menjaga jarak dari Bondan. “Aku ingin sekali membunuhmu. Anak Muda, kamu bisa anggap jika pertemuan pertama itu adalah peringatan. Engkau akan mengingatnya seperti engkau mengingat ukiran pada batu candi,” desis Ki Cendhala Geni. Lalu katanya lagi, “Jika kau begitu bodoh, maka aku akan berkata dengan terang agar tidak coba-coba menghalangi seorang Ki Cendhala Geni. “Engkau berbuat kesalahan, Anak Muda. Engkau terlalu percaya dan yakin pada kemampuanmu yang belum setinggi pohon kelapa. Tapi aku dapat mengerti, bahkan sangat paham jika keinginan itu ada karena kau belum mendengar siapa Ki Cendhala Geni. Dan kali ini engkau akan tahu siapa sebenarnya Ki Cendhala Geni. Engkau akan menyesali malam ini,  Anak Muda!” Getar suara orang yang masuk dalam pencarian para prajurit ini terdengar mengerikan. Bondan pun merasakan keanehan ketika mendengarkan kata-kata Ki Cendhala Geni. Tatap mata lelaki ini menusuk jantung Bondan. “Ini adalah urusanku, Ki Cendhala Geni. Ini bukan tentang kemampuanku berkelahi denganmu. Pemisah kita hanya selebar daun jati. Jika mengancamku dengan kematian, kematian akan datang kapan saja dan itu tak perlu menunggu sekarang ini. Sekarang, saat engkau berada di depanku,  engkau akan merasakan perih ujung kainku. Sebaiknyalah engkau mencium lututku sebagai permohonan maaf atas kecurangan yang pernah kau lakukan padaku!” Bondan menggeram dan tangannya tergetar hebat ketika mengucapkan kata-kata itu. “Engkau bermimpi telah duduk di puncak  langit, Anak Muda. Siapakah namamu? Aku perlu untuk mengetahui namamu agar aku dapat berkata kepada setiap orang bahwa telah mati seorang anak muda yang telah duduk di ujung langit.” “Ki Cendhala Geni, engkau terkenal dengan gelar Banaspati Gunung Kidul. Maka aku katakan padamu adalah lebih baik engkau mengukir namamu di ujung kain ini. Agar aku selalu ingat bahwa Ki Cendhala Geni hanya mampu merngek dan mengejek!” Merah padam muka Ki Cendhala Geni. Matanya menyala merah dan giginya gemeratak menahan gejolak dirinya yang dihina oleh Bondan. “Bersiaplah untuk mati!” Bondan menjawab dengan mempersiapkan diri menghadapi gelombang serangan lawan yang akan datang menerjangnya. Sebelum datang menyelamatkan Ubandhana, pertarungan antara Ki Cendhala Geni dan Ken Banawa berlangsung cukup hebat. Kedua senjata mereka saling menggulung. Tetapi pada suatu ketika Ki Cendhala Geni memindahkan tangannya dengan menggenggam bagian tengah tangkai kapak, tiba-tiba kapaknya berputar-putar lebih cepat. Gulungan pedang Ken Banawa menjadi semakin sempit seakan tertelan gelombang serangan kapak Ki Cendhala Geni.

Baca Juga :

Ken Banawa bersusah payah untuk mengimbangi dari mengubah tata gerak hingga meningkatkan tenaganya, tapi ternyata tidak cukup memadai membendung aliran serangan lawannya. Di tengah putaran kapak yang semakin ketat membelit pedang Ken Banawa, uluran tangan terkepal Ki Cendhala Geni menyusup menjangkau dada Ken Banawa. Tubuh Ken Banawa terpental jauh ke belakang. Dalam waktu itu, Ki Cendhala Geni yang akan menerkamnya, sekilas mengerling ke arah Ubandhana, pada saat itulah nyawa Ubandhana dapat diselamatkan. Berkelebat Ki Cendhala Geni melayang cepat dan kakinya datang menjejak ke arah Bondan. Tendangan beruntun telah dilepaskan dan Bondan mendapatkan gebrakan dahsyat di awal pertarungan. Dua telapak kaki Ki Cendhala Geni seolah berjumlah puluhan datang beruntun menggempur dada Bondan. “Gandrik! Sipat keketan! Anak ini benar-benar gila!” Ki Cendhala Geni mengumpat dalam hatinya ketika Bondan menyongsong kakinya yang terjulur. Sentuhan keras terjadi dan Bondan terdorong surut namun tetap mampu menjaga keseimbangan. Ki Cendhala Geni terkejut melihat betapa Bondan justru membiarkan dirinya hanyut oleh dorongan. Yang menggeramkan hatinya adalah tandang Bondan seolah menunjukkan mereka berada pada tataran yang sama. Tendangan beruntun menghujani seperti puluhan kilat menyambar sebatang pohon, malah disambut Bondan dengan tangkisan untuk membelokkan arah tendangan. Merasa bahwa serangannya akan berakhir sia-sia, Ki Cendhala Geni pun mengubah tata geraknya. Ia melesat tingi, berputar balik di atas kepala Bondan sambil mengayunkan kapak yang tajam pada kedua sisinya. Nyaris tubuh Bondan terbelah jika tidak segera menghindar dengan berguling ke samping. Bersamaan dengan itu, Bondan melecutkan ikat kepalanya ke lambung Ki Cendhala Geni. Namun Ki Cendhala Geni lekas menutupnya dengan menarik lutut. “Anak gila!” desis Ki Cendhala Geni ketika menerima lecutan ikat kepala itu dengan lututnya. Sedikit berdenyut di lututnya ketika tersentuh ujung ikat kepala Bondan. Tak jauh dari lingkar perkelahian Bondan. Ken Banawa duduk mengatur pemulihan bagi tubuhnya yang sedikit terguncang karena hantaman keras lawannya. Di bagian lain, saat tertolong kapak Ki Cendhala Geni, ternyata Ubandhana mampu memanfaatkan kedudukan Ken Banawa yang sedang memulihkan diri. Ubandhana menggulingkan tubuh untuk menyambar tombak pendeknya dan segera melesat cepat menerjang Ken Banawa. Sejenak kemudian senjata Ubandhana berputar sangat cepat dan terlihat bayangan putih seakan-akan menjadi selubung bagi tubuhnya. Tombak itu bergulung-gulung serta mengeluarkan dengung suara seperti ombak yang dahsyat menghempas karang. (bersambung)

Sumber: