Sanksi PPKM Darurat di Surabaya Jadi Sorotan
Surabaya, memorandum.co.id - Penerapan sanksi Tour of Duty yang dicanangkan Pemkot Surabaya, yakni sanksi yang diberikan bagi siapapun yang dianggap melanggar penerapan PPKM darurat akan diajak membantu membuat peti mati, menghitung jenazah Covid-19, dan memberi pelayanan sosial di Liponsos Keputih menjadi sorotan sejumlah pihak. Meski Tour of Duty dinilai Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi akan efektif memberi efek jera, namun warga Surabaya tidak sepenuhnya memiliki pemahaman yang sama. Seperti yang diutarakan oleh gus Yusuf Hidayat. Sekjen Baguss (Barisan Gus dan Santri) ini menyayangkan jenis pelanggaran yang dinilai tidak sebanding dengan konsekuensinya. “Jangan sampai gara-gara orang keluar rumah tanpa masker karena beli rokok depan rumah, kena operasi Tour of Duty. Padahal, bisa jadi warga tersebut lupa atau karena niatnya cuma keluar sebentar, tiba-tiba kena operasi tersebut. Padahal itu kan bisa melalui langkah persuasif. Ditegur, diingatkan. Bila perlu, dibantu masker lagi. Tentunya harus masker yang steril dan kualitas bagus untuk kesehatan," urai gus Yusuf Hidayat, Selasa (6/7/2021). Dia juga menambahkan, bahwa tidak semua warga memiliki niat jelek untuk bandel dan melakukan pelanggaran. Pelaku usaha misalnya, karena himpitan ekonomi, bisa jadi mereka harus nekat berjualan sampai malam hari. Pihaknya kemudian mencontohkan, manakala ada pedagang makanan yang bukanya dari pagi, namun karena tidak laku-laku mengharuskan pedagang tersebut buka sampai malam hari sebab tidak memungkinkan apabila makanan tersebut dijual keesokan paginya. "Apa itu termasuk melanggar? Kalau Pemkot mau beli makanan yang dijual warga, yah tidak masalah. Tapi kalau orang dihukum menghitung jenazah, apa ini tidak menimbulkan masalah lagi? Jangan sampai ada potensi warga mengalami trauma psikologis gara-gara aturan Tour of Duty," tegasnya. Meski cenderung mengkritisi, namun gus Yusuf mendukung kebijakan pemerintah untuk menekan lonjakan Covid-19 asalkan mempertimbangkan kearifan lokal masyarakatnya. “Seorang wali kota harus punya kearifan lokal dan kesalehan sosial. Ini poin penting, memahami apa yang menjadi identitas dan kebutuhan masyarakat," harapnya. Senada dengan apa yang disampaikan gus Yusuf, ning Lia Istifhama, aktivis perempuan millenial yang juga warga Surabaya, menerangkan pentingnya kebijakan yang humanis. “Yang namanya warga, pasti mendukung kebijakan pemerintah setempat. Namun agar masyarakat tidak memiliki suudzon, maka tolong kebijakan selalu mengedepankan sisi humanis. Karena persoalan Covid-19 ini dampaknya bukan hanya kesehatan, tapi juga aspek sosial, pendidikan, dan perekonomian. Jadi pendekatan atau solusi harus holistik, mempertimbangkan keseluruhan dampak agar tidak jadi blunder," pungkas ning Lia. (mg3)
Sumber: